Pengaturan dan penyebutan gratifikasi secara spesifik dikenal sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Undang-undang memberikan kewajiban bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melaporkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajiban penerima. Jika gratifikasi yang dianggap pemberian suap tersebut tidak dilaporkan pada KPK, maka terdapat risiko pelanggaran hukum baik pada ranah administratif ataupun pidana.
Terdapat juga keragaman pemahaman tentang gratifikasi. Ada yang memahami gratifikasi identik dengan sesuatu yang selalu salah, amoral, bahkan menyamakan gratifikasi dengan suap. Mengacu pada Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor, kata gratifikasi sesungguhnya bermakna netral, yaitu: pemberian dalam arti luas yang dapat berbentuk uang, barang atau fasilitas lainnya. Gratifikasi menjadi sesuatu yang terlarang ketika pihak penerima adalah pegawai negeri atau penyelenggara Negara, penerimaan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban penerima. Gratifikasi itulah yang disebut pada Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor sebagai “gratifikasi yang dianggap pemberian suap”.
Di lingkungan Kementerian Agama, telah diterbitkan KMA Nomor 427 Tahun 2020 tentang Unit Pengedalian Gratifikasi sebagai Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Agama yang telah ditetapkan Menteri Agama pada tanggal 12 Mei 2020.
Tiga Lapis Pertahanan (Three Lines of Defense) adalah poin penting untuk membangun integritas pencegahan korupsi di lingkungan Kementerian Agama. Pertahanan pertama (first line of defense) adalah pemahaman tentang nilai-nilai Kementerian Agama, dimana role model-nya adalah atasan langsung atau Aparatur Sipil Negara (ASN) itu sendiri. Sedangkan pertahanan lapis kedua (second line of defense) adalah sistem kepatuhan internal di tiap unit kerja. Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) menjalankan peran sebagai Pertahanan Lapis Ketiga (Third line of defense).
Dalam rangka mendukung upaya Unit Pengendali Gratifikasi Kementerian Agama Kota Malang, Kepala Seksi Bimas Islam, H.M. Rosyad pada selasa 23 Februari 2021 mengadakan pertemuan dengan seluruh Kepala KUA di lingkungan Kementerian Agama Kota Malang untuk membangun kesepahaman tentang pengendalian gratifikasi dalam layanan Kantor Urusan Agama. Kegiatan yang diadakan di Minihall Kementerian Agama Kota Malang tersebut, sebagai bentuk upaya pengendalian dan pengawasan tindak korupsi di lingkungan Kementerian Agama.
Kesepahaman tentang persepsi korupsi dan penolakan terhadap gratifikasi dalam layanan KUA harus bisa mendukung pelaksanaan tugas layanan prima kepada masyarakat, sehingga KUA sebagai etalase bisa menunjukkan wajah Kementerian Agama yang terbaik, menjadi role model yang baik, santun, jelas, serta berintegritas. Karena dengan demikian Kementerian Agama di seluruh Indonesia secara umum, dan Kementerian Agama Kota Malang pada khususnya dapat dilihat sebagai institusi yang diisi dengan orang-orang yang baik dan memancarkan value (nilai-nilai) yang terpuji.