Shalat Jumat Saat Hari Raya: Memahami Keringanan dan Kewajiban dalam Islam

TANYA: Assalamu’alaikum Wr. Wb. Semoga selalu sehat. Mau tanya, nanti Jumat hari Raya Iedul Adha. Bila kita melakukan shalat Ied, kita tetap diwajibkan shalat Jumat apa tidak? Juga kapan waktunya boleh potong kuku dan rambut di Dzulhijjah ini? Pak Siswondho, +62 851 7304-xxxx

JAWAB: Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan dua hari raya besar, Idul Fitri dan Idul Adha. Terkadang, hari raya ini bisa bertepatan dengan hari Jumat, yang menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam: apakah kewajiban Shalat Jumat gugur ketika bertepatan dengan hari raya? Pertanyaan ini muncul berkaitan erat dengan hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Zaid bin Arqam RA. : “Telah berkumpul dua Id (Jumat dan Hari Raya) pada masa Rasulullah SAW pada satu hari itu. Maka Beliau shalat Id di awal siang, dan Beliau bersabda: ‘Wahai para hadirin, pada hari ini telah bertemu dua hari raya (Jumat dan Id) bagi kalian. Barang siapa suka menghadiri Jumat bersama kami, maka ha dirilah. Dan barang siapa yang suka memilih pulang (tidak shalat Jumat), maka pulanglah.’” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim, sanadnya disahihkan).

Berdasarkan kajian ha dits diatas dan asbab wurud nya (faktor yang melatar belakangi Nabi Muhammad menyampaikan hadits ini). Para ulama memiliki be berapa pandangan mengenai kewajiban shalat Jumat:

Penduduk Setempat (Ahl al-Balad): Mayoritas ulama sepakat bahwa bagi penduduk yang tinggal di kota atau tempat pelak sa naan shalat Jumat, kewajiban shalat Jumat tetap berlaku secara mutlak.

Penduduk Pedalaman (Ahl al-Qura dan al-Bawaadi): Untuk penduduk yang tinggal di daerah pedalaman atau perkampungan yang jauh dari pusat kota atau jauh dari masjid, ada pendapat ulama yang menyatakan gugurnya kewajiban shalat Jumat mereka. Keringanan ini diberikan dengan syarat: Mereka telah menunaikan shalat Id. Mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing sebelum masuk waktu Zuhur (tergelincirnya matahari). Jika mereka kembali ke masjid untuk shalat Jumat, mereka akan ketinggalan pelaksanaan shalat Jumat karena jarak tempuh yang merepotkan dan memakan waktu.

Perbedaan Madzhab dalam Masalah Ini. Perbedaan pandangan mengenai masalah ini tercatat dalam kitab-kitab fikih, seperti al-Miizaan as-Sya’rooni, yang merinci empat madzhab utama:

Madzhab Syafi’iyyah: Apabila penduduk desa dan pedalaman telah menunaikan shalat Id dan meninggalkan daerah tempat shalat Id sebelum waktu Zuhur, maka mereka tidak wajib melaksanakan shalat Jumat. Namun, bagi penduduk kota atau desa setempat, shalat Jumat tetap wajib. Yang dimaksud kota atau desa setempat ini adalah kota atau desa tempat masjid berada atau tempat didirikannya shalat Id.

Madzhab Imam Ahmad: Menurut madzhab ini, baik penduduk kota maupun pedalaman tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jumat. Mereka cukup menunaikan shalat Zuhur.

Madzhab Imam ‘Atha’: Ini adalah pandangan yang kurang umum, yang menyatakan bahwa tidak diwajibkan shalat Jumat maupun shalat Zuhur. Mereka cukup melak sanakan shalat Ashar.

Madzhab Abu Hanifah: Semua shalat, termasuk shalat Jumat, tetap diwajibkan bagi seluruh umat Islam, tanpa terkecuali, meskipun bertepatan dengan hari raya.

Mempertimbangkan kondisi geografis dan sarana transportasi di masa kini, sebagian besar jamaah masjid tidak lagi menghadapi kesulitan perjalanan yang berarti untuk kembali ke rumah setelah shalat Id dan kemudian kembali lagi untuk shalat Jumat. Dengan kemudahan akses dan jarak yang relatif dekat bagi banyak orang, alasan utama keringanan yang ada pada zaman Nabi SAW (yaitu masyaqqah akibat jarak jauh) menjadi kurang relevan.

Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan pendapat ulama dan adanya hadits yang menunjukkan ke ringanan, sebagian besar ulama modern cenderung berpendapat bahwa kewa jiban shalat Jumat tetap ber laku bagi mayoritas umat Islam di zaman sekarang, bahkan ketika bertepatan dengan hari raya, kecuali bagi mereka yang benar-benar mengalami kesulitan yang nyata dan memberatkan.

Bagaimana dengan potong kuku? Ada sebuah hadits yang merekam dawuh Rasulullah SAW:” “Jika (Salah seorang) telah masuk sepuluh (Dzul Hijjah), sedangkan ia memiliki hewan kurban yang hendak dikurbankan, maka jangan sekali-kali ia mencukur rambut atau me motong kuku.” Dan dalam satu riwayat :” hendaknya ia tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku terlebih dahulu.”

Berdasar hadits ini, Para Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki tanggal 10 bulan Dzulhijjah dan ingin berkurban. Sa’id bin Mu sayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian sahabat-sahabat Syafi’I ber pendapat: Haram atasnya sesuatu dari rambut dan kukunya sehingga datang waktu berkurban. Sementara Imam Syafii dan Sahabat sahabatnya berpendapat hal itu dimakruhkan dengan makruh tanjih tidak sampai haram.

Abu Hanifah berpendapat tidak makruh. Imam Ma lik dalam salah satu riwa yat berpendapat tidak makruh. Tetapi dalam riwayat lain berpendapat ma kruh. Dengan demikian ke makruhan atau keharaman potong kuku itu hanya berlaku bagi mereka yang akan berkurban, bila tidak berkurban maka tidak masalah. Atau merasakan kerepotan bila tidak memotong rambut atau kuku hingga meng ganggu ibadah yang lain, maka bisa mengikuti pen dapat Abu Hanifah yang menyatakan tidak makruh. Wallahu a’lam. (*)

Oleh: Gus Achmad Shampton Masduqie Kepala Kemenag Kota Malang

Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada Kamis, 5 Juni 2025

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.