Untuk Kepentingan Rumah Tangga, Haruskah Membayar Hutang ke Suami


TANYA: Assalamu’alaikum, wr. Wb. Saya seorang isteri dengan 4 anak dari suami pertama. Saat menikah siri dengan suami yang sekarang. Suami saya yang sekarang ini hanya memberi nafkah Rp. 300.000.- per minggu. Saya sudah berusaha bertahan sampe 4 tahun, tapi pernikahan tidak juga diresmikan. Ditambahi 2 anak bawaan suaminya, dan masih harus membiayai sekolah dan pondok anak2 kandung saya. Saya ingin bercerai karena tidak cukup nafkah yang diberikan dan kalau ada kekurangan dari nafkah yang harus dikeluarkan saya harus berhutang pada suami. Saya ingin melepaskan diri, tapi sama suami diingatkan terus tentang hutangnya yang cukup banyak. Saya pengusaha roti, tapi banyak alat-alat yang harus saya jual untuk membayar hutang pada suami.
Pertayaan saya, sebenarnya berapa batasan nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami? Bagaimana dengan kewajiban isteri untuk berhutang bila biaya nafkahnya kurang?
Fadilatul Ilmi, +62822375xxxx
JAWAB: Dalam kajian fikih, ulama membagi tiga beban nafkah suami pada isterinya yang yang mumakkinah (tidak nusyuz/durhaka pada suami) dengan ketentuan sebagai berikut: Menurut 1. Imam Syafi’i ukuran nafkah per harinya bagi orang miskin dan orang yang berada dalam kesulitan adalah satu mud. Bagi orang yang berada dalam kemudahan adalah dua mud. Jika diantara keduanya adalah satu setengah mud.
2. Menurut Imam Abu Hanifah bagi orang yang dalam kemudahan memberikan tujuh sampai delapan dirham tiap bulannya, sedangkan orang yang dalam kesulitan memberikan empat sampai lima dirham perbulanya.
3. Menurut Imam Malik bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan berdasarkan ketentuan syara’, tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami istri, dan ini akan berbeda-beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan.
4. Menurut Hanabilah (pengikut Imam Hambali), sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Rozali, dimana kadar nafkah di ukur sesuai dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rejekinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga masing-masing. Jika keduanya berasal dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai dengan keadaan masing-masing juga. Namun, jika kedua suami istri berasal dari keluarga yang berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.
Lalu bagaimana hukumnya jika seorang istri pinjam uang suami untuk keperluan rumah tangga? Perlu diketahui bahwa harta dalam pernikahan ada dua jenis: pertama, harta bawaan yaitu harta yang didapat oleh masing-masing pihak baik suami dan istri di luar pernikahan dan kedua, harta bersama yaitu adalah harta yang diperoleh pada saat pernikahan dan dinyatakan sebagai milik bersama kecuali terdapat perjanjian perkawinan diawal tentang pembagian harta.
Karenanya menjawab pertanyaan Anda, terkait utang piutang antara suami istri, sebelumnya kami asumsikan bahwa uang yang dipinjam tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari harta bersama. Oleh karenanya, tidak ada atau tidak berlaku kewajiban mengembalikan uang yang dipinjam oleh istri apabila utang piutang tersebut terjadi di dalam masa perkawinan, sepanjang tidak ada perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai harta bersama tersebut. Wallahu alam. (*)

Oleh: Gus Achmad Shampton, M.Ag Kepala Kemenag Kota Malang

Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 24 Januari 2025

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.