Santri Berjuang Meraih Masa Depan Tanpa Bullying

SANTRI BERJUANG

Meraih Masa Depan Tanpa Bullying

Oleh: Sukirman, S.Ag., M.Pd

(Kasi PD Pontren Kantor Kemenag Kota Malang)

Di bawah langit pesantren yang teduh, para santri mengawali hari dengan lantunan ayat-ayat suci, ditemani semilir angin yang membawa harapan. Mereka adalah generasi yang tak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga meniti jalan panjang menuju masa depan yang lebih baik. Di sinilah mereka berjuang, menggali hikmah dari kitab-kitab klasik, sembari menata diri dengan disiplin yang tertanam kuat.

Santri adalah simbol ketekunan, keuletan, dan kesederhanaan. Mereka tahu bahwa perjuangan tak hanya dilakukan dengan menghafal teks, tetapi juga melalui tindakan nyata. Dari pagi buta hingga malam tiba, mereka membagi waktu antara belajar, beribadah, dan bermasyarakat. Di balik tembok pesantren, setiap langkah mereka adalah sambungan dari perjuangan ulama-ulama terdahulu, yang telah menanamkan nilai-nilai luhur bagi bangsa.

Di tengah derasnya arus modernisasi dan tantangan zaman, santri tidak gentar. Mereka justru merengkuh teknologi sebagai alat untuk memperluas wawasan, tanpa melupakan akar tradisi. Dengan bekal ilmu agama yang kokoh dan pemahaman yang terbuka, santri mempersiapkan diri untuk menjadi agen perubahan, siap menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitasnya.

Seiring berjalannya waktu, perjuangan mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk masa depan bangsa. Dengan hati yang ikhlas, santri menanamkan cita-cita besar: menjadi pemimpin yang adil, ilmuwan yang bijak, dan pelayan masyarakat yang rendah hati. Di setiap langkah mereka, selalu ada keyakinan bahwa masa depan yang gemilang tak bisa diraih tanpa perjuangan.

Di hari Santri tahun ini teklen yang diusung adalah “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan”. Santri sambung juang, terus bergerak maju, merengkuh masa depan dengan tangan terbuka. Di tangan merekalah harapan bangsa ini disematkan, karena mereka tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga menjaga moral dan etika. Santri tahu, masa depan yang cerah tak akan datang begitu saja. Ia harus diraih dengan tekad kuat dan perjuangan tanpa henti.

Maka, pesantren bukan hanya tempat belajar. Ia adalah kawah candradimuka, tempat para santri ditempa menjadi pribadi tangguh yang siap membawa perubahan, menyambut masa depan dengan penuh keyakinan.

STOP BULLYING DI PESANTREN!

Dalam kehidupan pesantren, santri dikenal sebagai simbol keilmuan, kedisiplinan, dan karakter mulia. Mereka adalah generasi yang dibekali dengan nilai-nilai keagamaan yang kuat, yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan di masyarakat. Namun, di balik kesan ini, terdapat satu tantangan yang terkadang masih tersembunyi: bullying. Kekerasan verbal, fisik, mental atau seksual yang dialami oleh sebagian santri dapat mempengaruhi tumbuh kembang mereka, baik secara mental, emosional maupun sosial.

Bullying bukanlah fenomena baru, namun kesadarannya di lingkungan pesantren sering kali diabaikan. Hal ini bisa muncul dalam bentuk perundungan antara sesama santri, atau bahkan dalam hubungan antara senior dan junior. Sementara pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar dan mengembangkan diri, realitas ini masih menghantui sebagian santri yang akhirnya kehilangan kepercayaan diri, motivasi, dan semangat untuk meraih masa depan.

Namun, zaman semakin berubah. Kini, kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan di pesantren semakin meningkat. Santri, sebagai pemuda dengan potensi besar, harus berjuang untuk meraih masa depan mereka tanpa ada kekerasan atau bullying yang menghalangi. Di sinilah, pentingnya peran setiap elemen di pesantren – pengasuh, guru, dan santri sendiri – untuk menciptakan budaya pesantren yang damai, saling menghormati, dan penuh kasih sayang.

Mengapa Bullying di Pesantren Harus Dihentikan?

Bullying, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun mental, dapat meninggalkan luka yang dalam pada korbannya. Di pesantren, bullying sering kali dianggap sebagai bagian dari tradisi atau “kedisiplinan” yang diterapkan oleh senior kepada junior. Padahal, dampaknya jauh lebih serius. Kekerasan ini bukan hanya merusak kesehatan mental dan fisik korban, tetapi juga mengganggu proses belajar dan perkembangan karakter yang seharusnya menjadi fokus utama pendidikan di pesantren.

Santri yang menjadi korban bullying biasanya mengalami penurunan kepercayaan diri, merasa terisolasi, dan bahkan mengembangkan rasa takut yang berlebihan. Dalam jangka panjang, mereka bisa kehilangan motivasi untuk belajar, menarik diri dari pergaulan, atau bahkan mengalami depresi. Dampak-dampak ini sangat berlawanan dengan tujuan utama dari pendidikan pesantren, yaitu mencetak individu yang kuat secara mental, spiritual, dan sosial.

Lebih dari itu, bullying menciptakan budaya kekerasan yang terus diwariskan. Senior yang pernah menjadi korban sering kali mengulangi kekerasan yang mereka alami kepada junior mereka, membentuk siklus yang sulit diputus. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghentikan budaya ini agar pesantren bisa menjadi tempat yang aman, penuh kedamaian, dan ramah bagi semua santri.

Membangun Karakter Santri Tangguh Tanpa Kekerasan

Untuk menciptakan lingkungan pesantren yang bebas dari bullying, kita harus memulai dengan membangun karakter santri yang tangguh, namun tanpa kekerasan. Karakter tangguh bukanlah hasil dari kekerasan atau perundungan, melainkan dari pendidikan yang penuh dengan kasih sayang, pengertian, dan bimbingan yang benar. Pesantren harus menjadi tempat di mana santri merasa dihargai, didukung, dan termotivasi untuk terus berkembang tanpa rasa takut.

Santri yang tangguh adalah mereka yang mampu mengatasi tantangan dengan bijaksana, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan. Salah satu langkah penting untuk mewujudkan ini adalah dengan memperkuat pendidikan karakter di pesantren. Pendidikan karakter ini harus mengajarkan santri tentang pentingnya saling menghargai, bekerja sama, serta menjauhi segala bentuk kekerasan dan intimidasi.

Selain itu, pesantren juga dapat menanamkan nilai anti-bullying melalui berbagai kegiatan positif, seperti diskusi terbuka tentang dampak bullying, pelatihan keterampilan sosial, pelatihan Santri Preneurship, Pelatihan Santri “Metal” (Melek Digital), serta menciptakan iklim yang mendorong santri untuk melaporkan tindakan kekerasan tanpa takut mendapat balasan negatif. Ketika setiap santri merasa didengar dan dihormati, mereka akan lebih berani untuk melawan tindakan bullying dan berdiri teguh melindungi satu sama lain.

Peran Pesantren dalam Menciptakan Lingkungan Tanpa Bullying

Peran pesantren dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari bullying sangatlah krusial. Sebagai lembaga pendidikan agama yang juga mengajarkan moral dan akhlak, pesantren memiliki tanggung jawab besar dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada para santrinya. Oleh karena itu, penting bagi para pengasuh dan guru di pesantren untuk menjadi teladan yang baik dalam hal anti-bullying.

Pertama, pesantren harus memastikan adanya sistem pengawasan yang baik. Pengasuh atau ustadz harus terlibat aktif dalam mengawasi interaksi antar santri, terutama yang melibatkan senior dan junior. Mereka juga harus cepat tanggap dalam menanggapi laporan atau keluhan dari santri terkait tindakan kekerasan. Dengan adanya pengawasan yang ketat, tindakan bullying bisa dicegah sebelum berkembang lebih jauh.

Kedua, pesantren perlu mengadakan sosialisasi dan pelatihan tentang bullying, baik kepada santri maupun para guru. Dengan memahami dampak negatif dari bullying, santri akan lebih sadar akan pentingnya menciptakan hubungan yang sehat antar sesama. Pelatihan ini juga harus melibatkan teknik-teknik mediasi, agar konflik-konflik kecil di antara santri bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bijaksana, tanpa harus melibatkan kekerasan.

Ketiga, pentingnya adanya sistem dukungan bagi korban bullying. Pesantren harus menyediakan ruang bagi santri untuk berbicara dan mendapatkan bantuan apabila mereka merasa menjadi korban kekerasan. Dengan adanya dukungan dari pihak pesantren, korban bullying akan merasa aman dan lebih mudah pulih dari trauma yang mereka alami.

Meraih Masa Depan yang Cerah Tanpa Kekerasan

Santri adalah masa depan bangsa, pemimpin di masa depan yang akan membawa nilai-nilai keislaman dan keadilan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, untuk mencapai potensi penuh mereka, santri harus tumbuh di lingkungan yang aman, bebas dari segala bentuk bullying dan kekerasan. Lingkungan pesantren harus menjadi tempat yang tidak hanya mendidik secara agama, tetapi juga membentuk karakter yang kuat dan penuh kasih sayang.

Dengan menghentikan budaya bullying dan menggantinya dengan budaya saling menghormati, pesantren dapat mencetak santri yang tidak hanya tangguh secara mental, tetapi juga mampu meraih masa depan yang cerah. Santri yang bebas dari trauma kekerasan akan lebih percaya diri, lebih produktif, dan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat.

Masa depan santri adalah masa depan yang penuh dengan potensi dan harapan. Dengan menghilangkan bullying dari lingkungan pesantren, kita membantu mereka untuk meraih masa depan tersebut dengan lebih percaya diri, lebih kuat, dan tanpa rasa takut. Santri yang tumbuh dalam lingkungan yang damai akan membawa kedamaian itu ke dunia luar, menjadi agen perubahan positif bagi umat dan bangsa.

UPAYA PENCEGAHAN KEKERASAN DI PESANTREN

Untuk mencegah terjadinya kekerasan, baik fisik maupun seksual, di pesantren, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk pimpinan pesantren, pengasuh, guru, santri, dan masyarakat. Berikut beberapa langkah strategis yang dapat diambil oleh pesantren:

1. Penerapan Kebijakan Zero Tolerance (Tidak Ada Toleransi) terhadap Kekerasan

Pesantren harus memiliki kebijakan Zero Tolerance terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk fisik, verbal, dan seksual. Kebijakan ini perlu dituangkan dalam aturan tertulis yang jelas, yang disosialisasikan kepada seluruh elemen pesantren, termasuk santri, ustaz/ustazah, pengasuh, dan staf. Sanksi tegas harus diberlakukan terhadap pelaku kekerasan, baik itu santri, guru, maupun pihak lain yang terlibat.

2. Pengawasan Ketat (Waskat)

Pengawasan ketat terhadap kegiatan sehari-hari di lingkungan pesantren sangat penting. Dewan asatidz (guru) dan pengurus pesantren harus aktif dalam mengawasi interaksi antar-santri, antara santri dan guru, serta antara santri dengan pihak luar. Area-area rawan seperti asrama, kamar mandi, atau ruang tertutup perlu diawasi dengan baik. Selain itu, pemasangan CCTV di tempat-tempat tertentu juga bisa menjadi solusi efektif untuk memantau dan mencegah terjadinya kekerasan.

3. Pendidikan dan Sosialisasi Tentang Bahaya Kekerasan

Pesantren perlu memberikan pendidikan dan sosialisasi secara berkala kepada seluruh santri dan staf mengenai bahaya kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Melalui kajian agama, diskusi kelompok, dan ceramah dari para ustaz atau psikolog, santri dapat diberikan pemahaman tentang nilai-nilai Islam yang menentang segala bentuk kekerasan dan pentingnya menjaga kehormatan diri serta orang lain.

Selain itu, penting juga untuk memberikan edukasi seksualitas yang sesuai dengan ajaran Islam, agar santri memiliki pemahaman yang benar tentang batas-batas pergaulan dan bagaimana menghormati diri serta orang lain dalam interaksi sosial.

4. Pembentukan Tim atau Satuan Tugas Anti-Kekerasan

Pesantren dapat membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti-Kekerasan yang beranggotakan guru, pengurus, konselor, dan santri senior. Satgas ini bertugas memantau kasus-kasus kekerasan, menerima laporan dari santri yang merasa menjadi korban atau menyaksikan kekerasan, serta memberikan pendampingan kepada korban. Satgas ini juga dapat bekerja sama dengan pihak luar, seperti psikolog atau lembaga perlindungan anak, untuk menangani kasus-kasus kekerasan dengan lebih baik.

5. Sistem Pengaduan yang Aman dan Terjamin Kerahasiaannya

Pesantren perlu menyediakan jalur pengaduan yang aman, rahasia, dan mudah diakses oleh santri. Jalur ini dapat berupa kotak pengaduan, hotline khusus, atau melalui aplikasi berbasis online. Penting bagi pesantren untuk menjamin bahwa santri yang melaporkan tindakan kekerasan akan dilindungi dan tidak mengalami intimidasi atau ancaman dari pelaku atau pihak lain.

6. Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas Guru dan Pengurus Pesantren

Guru, ustaz, dan pengurus pesantren perlu diberikan pelatihan khusus terkait dengan pencegahan kekerasan, termasuk bagaimana mengenali tanda-tanda awal kekerasan dan bagaimana menangani korban secara bijak. Mereka juga perlu dibekali dengan keterampilan komunikasi dan intervensi yang efektif untuk menghindari terjadinya konflik yang dapat berujung pada kekerasan.

7. Pemisahan Tempat Tinggal Santri Laki-Laki dan Perempuan

Untuk menghindari potensi terjadinya kekerasan seksual, pesantren harus memastikan adanya pemisahan tempat tinggal yang ketat antara santri laki-laki dan perempuan. Selain itu, aturan yang ketat juga harus diterapkan terkait pergaulan antara santri laki-laki dan perempuan, dengan mengutamakan prinsip-prinsip hijab dalam Islam.

8. Pendekatan Spiritual dan Psikologis

Membangun kesadaran spiritual yang kuat di kalangan santri merupakan langkah penting dalam mencegah kekerasan. Pesantren harus menanamkan nilai-nilai akhlak mulia yang berlandaskan pada ajaran Islam, seperti saling menghormati, menjaga kehormatan orang lain, dan menahan diri dari tindakan yang merugikan orang lain. Selain itu, layanan konseling psikologis juga perlu tersedia untuk membantu santri yang mengalami tekanan atau masalah emosional agar tidak melampiaskan frustrasinya dengan tindakan kekerasan.

9. Keterlibatan Orang Tua dan Komunitas

Pesantren perlu menjalin kerja sama erat dengan orang tua dan komunitas sekitar. Orang tua harus dilibatkan dalam pemantauan perkembangan santri, termasuk dalam memberi dukungan emosional dan moral. Selain itu, komunitas di sekitar pesantren juga dapat dilibatkan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan saling menjaga, sehingga potensi kekerasan dapat ditekan.

10. Evaluasi dan Audit Berkala

Pesantren perlu melakukan evaluasi rutin terhadap sistem pengawasan dan kebijakan pencegahan kekerasan yang telah diterapkan. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan melibatkan para ahli atau lembaga independen untuk menilai sejauh mana efektivitas langkah-langkah yang telah diambil. Audit berkala ini juga penting untuk mengidentifikasi celah atau masalah yang perlu segera diperbaiki.

Dengan menerapkan langkah-langkah strategis ini, pesantren dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan kondusif bagi santri untuk belajar dan berkembang, tanpa takut mengalami kekerasan. Peran aktif semua pihak sangat penting dalam mewujudkan pesantren sebagai tempat yang tidak hanya mendidik ilmu agama, tetapi juga menjaga keselamatan dan kesejahteraan setiap individu di dalamnya.

Upaya ini juga kami lakukan dengan adanya program kegiatan dari Kejaksaan dengan “Kejaksaan Masuk Pesantren” untuk memberikan edukasi bagi para santri agar tidak menyesal dibelakang hari, karena penyesalan setelah melakukan pelanggaran-pelanggaran hokum termasuk bullying ini masuk dalam kategori tindakan kriminal dengan main hakim sendiri yang menyebabkan nyawa orang lain ikut terancam.

Pesantren di Kota Malang melalui kerjasama antara Kemenag dengan Kejaksaan telah terprogram mengadakan penyuluhan hukum ke pesantren-pesantren yang ada, baru-baru ini telah dilakukan sosialisasi program anti kekerasan ke Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Tasikmadu Kecamatan Lowokwaru dan Pondok Pesantren Al Hayatul Islamiyah Kecamatan Kedung kendang. Mereka sangat antusias karena program ini menjadi program unggulan yang efektif untuk menanggulangi kekerasan di pesantren khususnya tentang bahaya bullying dan kekerasan seksual.(Skm)

Muhammad Nur Hidayah

Penulis yang bernama Muhammad Nur Hidayah ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pranata Humas dan Agen Perubahan Kemenag Kt Malang.