“Njenengan ke sini pada saat yang tepat,” begitu sambutan Pak Kabul, bagian tata usaha di masjid Al Hikmah Universitas Negeri Malang, sambil menjelaskan Profesor Dawud akan segera datang. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa bagunan Masjid yang ada didepan kami ini, usianya sudah tinggal dua bulan lagi.
“Insya Allah, per januari sudah mulai dibongkar, dan akan dibagun masjid yang baru dengan biaya sekitar 150 milliar,” begitu penjelasan Prof. Dawud, saat menemui tim dari Bimas Islam Kemenag Kota Malang.
Ketika ditanya, bagaimana bisa mendapatkan anggaran begitu besar untuk merehab masjid tersebut, “Kita ini ndak usah ruwet, semua kembalikan ke aturan yang ada, masjid ini kan berada di lingkungan UM, yang merupakan milik negara. Dan sudah ada beberapa aturan terkait dengan pertanggung jawaban keuangan dan pengelolaan barang milik Negara, ya sudah ikuti saja itu,” jelasnya sambil menyebutkan beberapa peraturan tentang pengelolaan barang milik Negara.
Selanjutnya diceritakan bahwa masjid Al Hikmah di UM (dulu IKIP Malang) dibangun pada akhir tahun 1979-an. Dana untuk pembangunan masjid itu berasal dari sivitas akademika IKIP Malang, termasuk mahasiswa yang baru masuk dengan cara mengirim uang melalui wesel sebesar Rp. 5000,- Masjid tersebut dikelola oleh Yayasan.
Pada tahun 2018, Dawud, setelah berkonsultasi dengan instansi yang menangani BMN, meminta kepada Yayasan yang menaungi Masjid untuk menyerahkan menjadi aset Negara yang pengelolaannya selaras dengan aturan BMN, karena memang secara factual lahan tersebut adalah bagian milik UM yang juga BMN. Salah satu alasan penting lainnya yang dikemukakan adalah, dengan diserahkannya asset dan pengelolaannya kepada Negara, maka Negara harus juga bertanggung jawab untuk mengelola dan merawatnya.
Oleh karenanya, ketika asset dan pengelolaan tersebut diserahkan Negara, Rektor melalui surat Keputusannya menugaskan Dawud sebagai ketua pengelolanya. Konsekuensi lainnya adalah seluruh biaya operasional termasuk gaji mereka yang “mengabdi” di masjid ditanggung oleh Negara.
Hal menarik dari SK Rektor tersebut adalah adanya perubahan istilah yang mungkin asing dalam manajemen kemasjidan, seperti penggunakan kata Pengelola bukan Takmir , lebih lanjut dia menjelaskan bahwa ketika masjid tersebut sudah menjadi asset Negara dan segala konsekuensinya, maka seluruh penggunaan terminology yang umumnya melekat didalamnya harus disesuaikan dengan aturan bagan akun standar.
“Termasuk, penggunaan istilah masjid, jelas tidak akan diakomodir dalam pengelolaan anggaran Negara, dan bisa jadi justru berpotensi ditemukan pelanggaran hokum dikemudian hari, saya tidak mau itu,” tegasnya.
“Tempat ini meskipun difungsikan sebagai masjid, tetapi karena ini terintegrasi dengan system yang ada di UM terkait proses pembelajaran, peanggaran di DIPA, bunyinya adalah sebagai *Sarana Penunjang Pengajaran dan Pembelajaran Agama Islam*. Dalam undang-undang pengajaran agama itu diperbolehkan dan sah menurut hukum,”
“Oleh karenanya saat saya meminta kepada rektor untuk melakukan rehab bangunan masjid ini, maka ketika saya diminta untuk membuat KAK (Kerangka Acuan Kerja) maka disana saya sebutkan gedung ini digunakan untuk sarana pembelajaran agama. Dan faktanya juga kita – sebelum pandemi ini – ada kuliah umum wajib bagi mahasiswa baru yang beragama islam setiap minggu di masjid ini, tetapi hanya bisa menampung sekitar 1000 mahasiswa, padahal mahasiswa baru kita per tahun ada 7000-an. Jadi sangat wajar jika kita membutuhkan sarana pembelejaran yang kapasitasnya lebih luas.”
Profesor ahli Bahasa Indonesia ini, cukup fasih menjelaskan berbagai konsideran terkait aturan-aturan BMN, bahkan tidak hanya dalam penggunaan istilahnya, tetapi dalam pengelolaan keuangannya.
“Di sini kita punya rekening khusus untuk menunjang kegiatannya. Kami berkonsultasi pada KPPN dan KPKNL yang menanganani pengelolaan asset ini, mereka menyarankan untuk operasional agar menggunakan rekening khusus. Sementara saya juga nggak mau ribet dan petanggung jawabannya, dalam ngurusi keuangan. Makanya dalam pengelolaan anggaran kami minta bagian keuangan di kantor pusat UM. Ketika kita membutuhkan biaya operasional suatu kegiatan maka tinggal buat proposal dan kita minta mereka membimbing pencairan dan SPJ-nya sesuai aturan keungan yang berlaku, dan saya mempertanggungjawabkannya kepada rektor,”
Pada saat sholat duhur berjamaah, tim Bimas Islam, melihat bahwa protokol kesehatan di masjid UM ini dilakukan dengan cukup baik, seperti poster-poster panduan pencegahan covid, pemakaian masker, dan juga pengaturan jarak dalam sholat.
“Jangam dibuat ribet, semua kembalikan regulasi yang berlaku. Mengenai protokol kesehatan ini kan sudah ada panduan dari kemenkes, dan juga Kemenag. Di UM kan sudah ada satgas Covid, ya sudah mereka ini saja libatkan dalam masalah pencegahan covid. Karena ini system, ya mereka saja yang mengatur. Selama pemerintah belum mencabut status pandemi ini, saya akan tetap mengkuti regulasi yang ditetapkan, ya sudah itu saja jalankan. Saya tidak mau disalahkan ketika ada cluster baru dalam penyebaran covid ini, karena tidak mengikuti regulasi yang ada.”
Dijelaskannya, sebagai konsekuensi aturan jaga jarak, maka saat pelaksanaan sholat Jumat jamaah sholat harus meluber dihalaman dan bahkan jalan depan masjid. Sementara yang mengatur itu semua bukan dari pengelola masjid, tetapi dari satgat Covid-19 UM.
Tidak hanya masalah jaga jarak dan protokol kesehatan saja, Prof Dawud juga cukup tegas dalam pemabatasan pelaksanaan khutbah dan sholat jumat. Khotib hanya diberikan waktu 7 menit untuk menyampaikan khutbanya dan 5 menit untuk sholat, dan sisanya sekitar 3 menit untuk memimpin doa jamaah. Jika ada khotib atau imam yang melanggar ketentuan ini, maka sebagai pengelola, Prof Dawud, akan segera menegur bahkan memberi opsi, jika tidak mau mengikuti SOP yang ditetapkan, maka pilihannya adalah dicoret dari jadwal khotib di masjid UM. Ketegasan ini tidak hanya berlaku bagi khotib dari luar UM, tetapi pernah ada seorang guru besar UM saat menjadi khotib juga terkena kartu merah karena melanggar ketentuan yang ada.
Saat disinggung tentang konsep sarana pembejaran yang akan dibangun secara berkelar dia mengatakan, ”Awas, kalau nanti masjid ini sudah jadi, jangan pernah ada yang bilang, kampusku mburine (dibelakang) masjid!* Ndak , ada! Tak kethak tenan! ( Saya jitak betulan ) , “ guraunya.
Dijelaskan bahwa, konsep bangunannya adalah seperti masjid nabawi di madinah, dimana tidak ada istilah depan atau belakang, yang ada adalah sebelah utara, timur, barat atau selatan masjid. Selain itu juga beliau menjelaskan pemakaian istilah fasilitas bagi orang berkebutuhan khusus saat sarana ibadah tersebut jadi.
“Bangunan saat ini, belum mengakomodir mereka yang berkebutuhan khusus, karena disana ada undak-undakan yang cukup tinggi. Saya tidak menggunakan istilah difabel atau cacat, tidak! Karena berkebutuhan khusus itu tidak harus difabel, tetapi lansia, atau mereka yang terkena stroke, tetapi masih ingin sholat di masjid, maka mereka ini orang-orang berkebutuhan khusus yang harus disediakan oleh pengelola tempat ini,”
***
Referensi Peraturan terkait pengelolaan Barang milik Negara bisa diunduh melalui tautan berikut
https://bit.ly/2H03X7h
https://bit.ly/3lMx10P