TANYA: Sudah sebulan sejak kami warga Jalan Teluk Etna V Kelurahan Arjosari Kec. Blimbing, Kota Malang mengeluhkan dan melaporkan kebisingan toa dari Musholla Maimunah Maruf yang beralamatkan di Jalan Teluk Cendrawasih Kelurahan Arjosari kepada pihak kecamatan Blimbing, Kota Malang tapi sepertinya belum ada tindakan sama sekali. Daerah kami sudah ada mesjid sendiri yaitu Masjid Baitul Maghfiroh, tapi toa Musholla tersebut yang jauhnya 250 meter lebih suaranya lebih menggelegar dan mengganggu daripada toa masjid kami. Belum lagi musholla tersebut selalu memutar kaset sholawat dan tarhim 30 menit sebelum adzan salat lima waktu menggunakan toa luar yang kencang, dan itu sangat-sangat mengganggu bagi orang yangg sakit dan udzur yang sedang ingin beristirahat. Semoga segera cepat ditindak demi kenyamanan bersama, terima kasih.
Anonim (melalui Lapor.go.id)
JAWAB: Untuk kasus anda, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam, Kepala KUA Blimbing dan Penyuluh Agama telah datang kepada takmir musholla yang dimaksud untuk memberikan edukasi kepada takmir untuk tidak menggunakan pengeras suara secara berlebihan dengan memperhatikan kepentingan bersama.
Sebenarnya kasus seperti ini sudah sangat sering kami terima, dan kami melakukan edukasi melekat baik bekerjasama dengan Lembaga Takmir Masjid maupun Dewan Masjid Indonesia perwakilan Kota Malang. Namun tidak sedikit di kalangan masyarakat yang masih tidak memperhitungkan kenyamanan orang lain dalam mengatur sound system pada pengeras suara masjid.
Dalam Islam sesungguhnya, batas pembolehan mengeraskan suara dzikir di Masjid itu adalah sampai pada batas mengganggu orang yang shalat, orang tidur di dalam Masjid itu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 66 cetakan darul fikr. Bila ternyata mengganggu orang lain mengeraskan suara dzikir bisa sampai pada hukum haram.
Hal ini juga ditegaskan dalam al-Adzkar Nawawi hal. 198 “banyak hadits yang menerangkan keutamaan membaca Al-Qur’an dengan keras dan hadits yang menerangkan membaca Al-Qur’an dengan suara lirih.
Ulama mengatakan : hasilnya adalah bahwa melirihkan suara lebih dapat menghindarkan diri dari riya, maka hal itu lebih utama bagi orang yang khawatir riya. Namun, jika tidak khawatir riya maka mengeraskan suaranya lebih utama dengan catatan tidak mengganggu orang lain seperti orang shalat, orang tidur atau yang lain.”
Mengeraskan suara saat berdzikir memang hukumnya Sunnah selama tidak mengganggu orang lain. Coba perhatikan narasi yang ada dalam kitab Bughyah, batasannya adalah tidak mengganggu orang yang shalat di dalam masjid itu maupun orang yang tidur. Jadi bila mengeraskan suara melebihi kapasitas hingga mengganggu masjid lain ini sudah masuk pada keharaman mengeraskan suara. Terlebih bila dzikir itu hanyalah rekaman yang tidak dibaca langsung oleh orang yang ada dalam masjid.
Mendengarkan Al-Quran sendiri menurut Imam Hanafi hukumnya wajib. Sementara dalam Tsamra al-Raudla hal 19 meninggalkan mendengarkan bacaan Quran hukumnya makruh. Mengacu pada hal ini sesungguhnya memperdengarkarkan bacaana Al Quran dengan keras akan membebani orang lain untuk mendengarkannya. Tentu kemakruhan akan semakin berat bila yang menyalakan tidak mendengarkan sendiri.
Negara sendiri memberikan aturan-aturan untuk kepentingan bersama agar tidak saling mengganggu. Menteri Lingkungan Hidup pernah mengeluarkan Kepmen Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Tingkat Kebisingan. Dalam Kepmen ini, tingkat kebisingan tempat ibadah dan sejenisnya ditetapkan sebesar 55 dB. Sementara dalam SE Menteri Agama No. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola ini adalah volume maksimal pengeras suara yang diatur sesuai dengan kebutuhan dan paling besar 100 dB (desibel). Sesungguhnya beribadah harus menyenangkan dan menebar kebaikan pada sesama, bukan menebar keresahan. Semoga dipahami dan menjadi pelajaran bersama. Wallahu a’lam. (*)
Oleh: Gus Achmad Shampton, M.Ag Kepala Kemenag Kota Malang
Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 3 Januari 2025