TANYA: Assalamualaikum ustad. apakah hukumnya rokok. Bagaimana kalau merokok di Masjid?
Imam +62 823-3345-xxxx
JAWAB: Diskursus mengenai hukum merokok dalam khazanah keilmuan Islam menyajikan beragam perspektif yang didasarkan pada interpretasi dalil syariat serta pertimbangan maṣlaḥah (kemaslahatan) dan mafsadah (kemudaratan). Karena rokok merupakan sesuatu yang baru, tidak ada di zaman Rasulullah dan ulama berbeda pandang dalam menentukan maslahan dan madlaratnya.
Tiga pandangan utama ulama muncul dalam menyikapi isu ini. Pertama, qaul dlo’if (pendapat lemah) mengharamkan rokok secara mutlak, berargumen pada potensi bahaya besar (dloror kabir) terhadap kesehatan (ḥifẓ al-nafs).
Kedua, pandangan dlo’if lainnya menyatakan mubah (boleh), kemungkinan karena ketiadaan kajian mendalam di awal kemunculannya. Ketiga, pandangan mu’tamad (kuat) menetapkan hukum asal makruh (dibenci) karena tidak adanya manfaat jelas dan termasuk perkara mukhtalaf fih (diperselisihkan), menganjurkan menjauhi yang isykal (samar).
Lebih lanjut, Jam’iyyah Riyadlotut Tholabah Al-Falah Ploso Kediri menawarkan elaborasi kontekstual (tafṣil) yang mengklasifikasikan hukum rokok menjadi lima: haram jika isrof (berlebihan) atau dloror muharram (bahaya haram); makruh tanpa tujuan jelas dan bahaya signifikan karena adanya khilaf; wajib dalam kondisi ḍarūrah (darurat) untuk pengobatan tanpa alternatif lain; sunah jika untuk pengobatan namun ada alternatif lain; dan mubah sebagai ghair mamnu’ (tidak dilarang) dalam kondisi makruh, sunah, atau wajib secara umum.
Transaksi jual beli rokok mengikuti hukum penggunaannya, sah jika mubah atau makruh, dan haram jika hasilnya untuk maksiat atau dana pembelian untuk kebutuhan wajib.
Kemudian bagaimana hukum merokok di Masjid apa sama dengan makan? Dalam masalah ini terdapat dimensi etika dan adab beribadah. Sebagian ulama memutuskan hukum berdasar analisa potensi dampak: makruh bahkan haram jika idza’ (mengganggu) kekhusyukan jamaah melalui bau atau suara; haram jika taqdzir (mengotori) atau ihanah (merendahkan) kemuliaan masjid dengan membuang sampah sembarangan dan sunah untuk sekedar makan jika bertujuan positif seperti memberi semangat dalam ta’lim tanpa taqdzir atau ihanah. Namun, justifikasi positif untuk merokok di masjid sulit ditemukan karena potensi idza’ dan taqdzir lebih besar.
Syaikh Ismail Utsman Zain Al-Yamani Al-Makki bahkan secara tegas mengharamkan merokok di tempat mulia seperti majelis Al-Qur’an, ilmu, atau masjid, sebagai bentuk su’ul adab (tidak sopan) dan meremehkan rumah Allah SWT.
Pandangan ini memperkuat qaul dlo’if pengharaman mutlak, terutama dalam konteks kesucian tempat ibadah. Meskipun mu’tamad cenderung makruh secara umum, konteks Masjid Haram dengan aturan adab tinggi dapat memperkuat argumen pengharaman karena potensi gangguan dan pengotoran. Makan di Masjid perlu mempertimbangkan potensi idza’ dan taqdzir, dengan kelonggaran mungkin ada untuk tujuan positif tanpa dampak negatif. Namun, merokok hampir secara konsensus dianggap tidak pantas dan melanggar adab di Masjid atau majlis kebaikan lainnya.
Kesimpulan
Hukum merokok dalam Islam adalah isu multidimensional dengan gradasi hukum yang dipengaruhi bahaya, tujuan, dan implikasi finansial, dengan makruh sebagai pandangan dominan. Dalam konteks Masjid, terdapat kecenderungan kuat mengharamkan atau memakruhkannya dengan derajat tinggi, didasarkan pada potensi gangguan, pengotoran, dan pandangan ulama yang melarangnya sebagai bentuk ketidakadaban terhadap rumah Allah SWT. Aktivitas makan atau hal-hal yang memungkinkan mengotori di Masjid memerlukan pertimbangan serupa, dengan kelonggaran terbatas untuk tujuan positif tanpa dampak negatif. Namun, merokok secara umum dianggap tidak pantas dan melanggar adab di Masjid, mencerminkan harmonisasi antara fleksibilitas hukum Islam dan penjagaan kesucian tempat ibadah. (*)