TANYA: Assalamu’alaikum. Gus mau tanya, di sekolah anak saya ada urunan wajib untuk pembelian hewan kurban. Bagaimana hukumnya? Kemudian sekolah merencanakan menyembelih di akhir Hari Tasyriq yang memungkinkan pendistribusiannya setelah akhir hari Tasyriq, mohon pertimbangan hukumnya. Terima kasih. Umma Beauty +62 852-3211-xxxx
JAWAB: Kurban, sejatinya, bukanlah sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan sebuah manifestasi ketundukan dan pengorbanan hamba kepada Tuhannya. Ia adalah simbol keikhlasan, berbagi, dan kepedulian sosial seorang hamba.
Sebagai prosesi ibadah , Kurban harus dilaksanakan sesuai dengan niat dan syarat yang harus terpenuhi. Fenomena yang lazim terjadi di lingkungan Lembaga Pendidikan sebagai bentuk edukasi, di mana siswa diwajibkan memberikan iuran untuk membeli kambing, kemudian disembelihkan di hari Kurban. Dalam konteks ini, meskipun niatnya mungkin mulia, ingin berpartisipasi dalam ibadah Kurban, namun perlu kita luruskan pemahamannya.
Penyembelihan sapi atau kambing yang berasal dari iuran wajib siswa ini, dalam pandangan fiqih, dari kewajiban yang digariskan sekolah, tidak dapat dikategorikan sebagai Kurban yang sah. Mengapa demikian? Karena sejatinya, esensi Kurban adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah melalui pengorbanan yang sifatnya sukarela dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Ketika iuran tersebut bersifat wajib, ia kehilangan dimensi kesukarelaan yang menjadi salah satu pilar Kurban.
Dari sisi hewan kurbannya, ulama syafiiyah menetapkan satu kambing untuk satu orang dan satu sapi untuk tujuh orang. Bila siswa diwajibkan donasi lima puluh ribu rupiah untuk membeli hewan Kurban, maka tidak memenuhi syarat sebagai Kurban. Ia beralih status dari potensi Kurban menjadi sekadar sedekah biasa.
Pahala yang didapat dari penyembelihan ini tentu tetap ada, namun ia adalah pahala sedekah, bukan pahala Kurban. Ibaratnya, seseorang berniat membangun istana, namun karena fondasinya tidak kokoh atau materialnya tidak sesuai, maka yang berdiri hanyalah sebuah rumah biasa. Tetap bermanfaat, namun bukan istana yang dimaksud. Demikian pula dengan iuran wajib ini. Ia tetap mendatangkan kebaikan karena mengedukasi anak didik untuk berlatih berkurban, namun bukan kebaikan Kurban yang spesifik.
Beda halnya bila semua peserta didik dan wali murid menyepakati berdonasi lima puluh ribu rupiah misalnya, kemudian mereka meniatkan shadaqah kepada salah seorang guru, peserta didik atau wali muridnya untuk dibelikan hewan Kurban atas nama yang mendapatkan shadaqah. Kemudian mereka yang ditunjuk menerima shadaqah ini saat menyembelih mengucapkan: “Pahala kurban ini saya hadiahkan untuk semua yang berdonasi kepada saya” maka semua siswa dan yang mendapat donasi untuk berkurban ini semua mendapat pahala berkurban.
Pembagian Daging Kurban: Fleksibilitas Waktu dan Prioritas Manfaat
Mengenai distribusi atau pembagian daging Kurban, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam, pernah melarang menyimpan daging Kurban lebih dari tiga hari. Hal ini terjadi karena kondisi saat itu, di mana banyak orang desa berdatangan ke kota, dan tujuan Nabi adalah agar mereka semua mendapatkan bagian daging Kurban. Ini menunjukkan betapa pentingnya aspek kemanfaatan sosial dalam ibadah Kurban.
Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan situasi, larangan tersebut dicabut. Nabi mengizinkan penyimpanan daging Kurban lebih lama. Para ulama, termasuk Imam anNawawi, kemudian membahas lebih lanjut mengenai porsi yang boleh disimpan. Umumnya, yang dianjurkan adalah menyimpan sekitar sepertiga dari bagian yang dimakan, sementara sisanya disedekahkan atau dibagikan kepada yang berhak. Ada pula pendapat yang membolehkan menyimpan dua pertiga.
Para ulama menghukumi masalah penyimpanan ini dengan tiga pandangan: makruh tahrim (mendekati haram), makruh tanzih (tidak sampai haram), dan boleh. Dan dalam hal ini, Imam an-Nawawi menetapkan hukum boleh. Ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam syariat, di mana kemudahan dan kemaslahatan umat menjadi pertimbangan penting.
Prinsip dasarnya adalah, penahanan atau penyimpanan daging Kurban itu dihubungkan dengan hajat manusia. Jika kondisinya menuntut pembagian segera, maka sebaiknya disegerakan. Namun, jika ada kebutuhan untuk menunda pembagian, hal itu tidak mengapa. Mengapa? Karena pokok sunah dalam ibadah Kurban adalah iraqah ad-dam (mengalirkan darahnya), yaitu proses penyembelihan itu sendiri. Apabila penyembelihan telah dilaksanakan pada waktunya, maka esensi Kurban telah terpenuhi
Syekh Dr. Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir menyatakan bahwa waktu penyembelihan memiliki batasan, namun waktu distribusi daging Kurban bisa diperpanjang hingga madar as-sanah (sepanjang tahun) hingga datangnya Kurban tahun berikutnya. Tentu, yang paling utama adalah mendistribusikannya pada hari-hari Nahr (Idul Adha dan hari Tasyriq), namun menunda pendistribusian karena kebutuhan atau kemaslahatan dihukumi khilāful mustahabb (menyalahi yang dianjurkan, namun tetap boleh).
Adapun mengenai bentuk pembagian, apakah mentah atau sudah dimasak, para ulama cenderung berpendapat bahwa untuk Kurban wajib, seluruh daging sebaiknya dibagikan dalam keadaan mentah. Sementara untuk Kurban sunah, disunahkan ada sebagian kecil yang dibagikan mentah, meskipun sebagian besar bisa dimasak. Ini kembali kepada semangat untuk berbagi dan memudahkan penerima. Semoga dapat dipahami, Wallahu a’lam. (*)
Oleh: Gus Achmad Shampton Masduqie Kepala Kemenag Kota Malang
Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada Jum'at 30 Mei 2025