Salam, Mohon pencerahan.
Ada Pak Abdullah, menikahi seorang perempuan. Pada saat dinikahi, perempuan ini sedang kondisi hamil dari hubungannya dengan pak Abdullah tetapi tidak berterus terang kepada KUA. Dari hasil pernikahan pak Abdullah ini lahirlah seorang perempuan bernama, Mawar. Pada saat Mawar menikah yang menjadi wali adalah Pak Abdullah. Dan saat ini mawar punya dua anak perempuan. Saat ini, Pak Abdullah menyadari dan bimbang bahwa pernikahannya dulu tidak sah, yang berakibat bahwa dia tidak berhak sebagai wali nikah dari Mawar. Sehingga dia beranggapan pernikahan si Mawar ini tidak sah.
Yang jadi pertanyaan, ketika Pak Abdullah merasa pernikahan dirinya dan pernikahan anaknya tidak sah, maka apakah:
1. Apakah harus mengulang lagi pernikahan dirinya dengan istrinya?
2. Apakah pernikahan Mawar harus diulang lagi?
3. Jika pernikahan mawar tidak sah, apakah cucunya nanti wali nikahnya harus wali hakim?
Arif, +62 813-3629-xxxx
Waalaikumussalam.wr.wb.
Ulama berbeda-beda pendapat dalam menyikapi pernikahan wanita hamil, Imam Abu Hanifah menyatakan sah, dengan ketentuan tidak disetubuhi selama belum melahirkan, sementara muridnya Imam Abu Yusuf menyatakan pernikahan wanita hamil tidak sah. Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam Maliki menyatakan wanita hamil tidak sah dinikahi hingga ia melahirkan karena Imam Maliki dan Imam Ahmad menganggap wanita hamil meski akibat perzinaan harus menjalani masa iddah (masa tunggu) hingga melahirkan. Sementara menurut Mazhab Syafii, dia bisa nikah dengan orang yang menghamili atau orang lain. Syafiiyah berpandangan bahwa hubungan perzinaan adalah hubungan yang tidak terhormat, sehingga anak yang ada dalam kandungan itu dianggap tidak ada.
Dalam hukum positif kita, Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 ayat satu menyatakan; Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Ayat dua, Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpamenunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Ayat tiga, dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Disini kita ketahui bahwa KHI lebih cenderung mengikuti pendapat Mazhab Syafii, hanya saja memberi batasan hanya yang menghamili saja yang boleh menikahi.
Dari penjelasan ini, pernikahan pak Abdullah tetap bisa dianggap sah dengan mengikuti pandangan Mazhab Syafii. Karenanya tidak perlu ada pernikahan ulang antara pak Abdullah dengan isterinya.
Mengenai Mawar, apakah pak Abdullah bisa menjadi wali atau tidak? Berdasar fikih Syafii maka dilihat dari jarak hubungan badan pak Abdullah setelah pernikahan resmi dengan kelahiran Mawar. Bila jaraknya lebih dari 6 bulan lebih, maka pak Abdullah bisa menjadi wali nikah. Tetapi bila jaraknya kurang dari 6 bulan, maka pak Abdullah tidak boleh menjadi wali nikah karena wali nikahnya adalah hakim yang dalam hal ini adalah kepala KUA. Tetapi ada juga yang mengambil jalan hati-hati dengan melangsungkan pernikahan menggunakan wali hakim tanpa melihat jarak hubungan badan setelah pernikahan dan kelahiran anak, bila nyata-nyata saat menikah sudah hamil.
Apakah Mawar harus nikah lagi? Bila memang berdasar penjelasan diatas, memang kelahiran Mawar dibawah jarak 6 bulan lebih, maka memang harus dinikahkan lagi dengan wali hakim. Tetapi bila sudah lebih dari 6 bulan, maka tidak harus nikah ulang karena ada ulama yang memperkenankan. Bagaimana dengan anak Mawar? Anak Mawar tetap bisa dinasabkan pada suami Mawar meski jarak kelahirannya kurang dari 6 bulan dari hubungan badan pak Abdullah dan isteri setelah nikah. Ia hanya wajib dinikahkan ulang saja. Perzinaan memang selalu meninggalkan permasalah hukum yang rumit. Wallahu a’lam, moga bisa dipahami.