Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 13 juni 2024
Beberapa hari lalu saya sowan kepada Kiai Ali Ya’lu Wala Yu’la Alaih Lirboyo dan Kiai Abdul Hamid Ibn Abdul Qadir Krapyak yang sekarang mengampu dua pesantren di Krapyak Yogyakarta dan Maunasari Kediri, disela-sela menjalankan tugas bersama kawan-kawan alumni Lirboyo yang tahun ini berkesempatan ziarah Mekkah dan Madinah.
Ada hal menarik yang saya dapat saat sowan ke kamar Kiai Abdul Hamid Ibn Abdul Qadir. Beliau bercerita sebagai ketua KBIHU senantiasa mengkonfirmasikan setiap kebijakan perjalanan haji pada Lembaga Bahts Masail Pesantren Lirboyo. Beliau juga bercerita bahwa sebelum berangkat haji, beliau sowan pada Mbah Yai Anwar Mansyur Lirboyo. Dalam kesempatan itu mendapatkan amanah pesan dari Kiai Anwar; agar belas asih pada jamaah dan berusaha mencarikan dalil hukum yang ringan-ringan tidak yang berat.
Saat di pesantren dulu saya juga pernah mendengar dawuh senada dengan ini. Kurang lebih Kiai Anwar Mansyur menekankan bahwa kajian kitab-kitab seperti Mahalli yang disana banyak pilihan pendapat ulama, ditujukan agar para santri saat sudah pulang dari pesantren, membawa kesejukan dan tidak terlalu membebani masyarakat dengan pendapat yang keras. “Pendapat lemah itu penting untuk masyarakat agar masyarakat tidak lari dari fikih” begitu kira-kira dawuhnya.
Dalam menjalankan tugas sebagai Bimbingan Ibadah di Sektor 9, ternyata saya dipertemukan dengan adik kelas saya di Lirboyo Kediri, Dr. KH. Habib Syarif Abu Bakar Bin Yahya yang kebetulan menjadi Konsultan Ibadah di Daerah Kerja Makkah. Beberapa kali kami terlibat diskusi tentang bagaimana memastikan jamaah haji tidak terbebani oleh rangkaian ibadah yang mereka sendiri tidak kuat menjalankan. “Kita berusaha mencarikan yang ringan untuk ummat Gus, yang berat-berat sudah jadi masa lalu kita, atau setidaknya yang berat hanya untuk kita yang kuat.”
Memang tidak mudah, melayani banyak jamaah. Kita yang berseragam ini selalu menjadi tumpuan harapan para jamaah yang tersesat. Suatu pagi saya berkeinginan jamaah Subuh di Masjidil Haram. Tapi akhirnya saya harus berjamaah di terminal Ajyad karena banyak jamaah yang minta tolong. Tentu kita suka cita membantu jamaah yang sebangsa dan setanah air, meski sering terkendala bahasa. Seorang kakek menyatakan lelah ingin pulang, tetapi jalur yang diambil salah.
Dia kebingungan dan tak mampu lagi berjalan. Saya ajak duduk, saya pijitin.
Jelang Adzan Subuh berkumandang, saya ajak beliau wudlu menggunakan air kemasan dan Shalat Subuh terlebih dahulu. Setelah Shalat Subuh, sambil mencarikan rombongannya, saya bertanya apakah sudah tahalul? Dia diam. Apakah sudah mencukur rambut? Kakek itu menggelengkan kepala. Sudah Thawaf tujuh kali? Dia menganggukkan kepala. Sudah Sai tujuh kali? Dia menggeleng. Kakek itu bercerita baru Sa’i dua putaran. Saya tawarkan bantu untuk menyewa kursi roda agar bisa menyelesaikan ibadahnya, dia menyatakan; “Saya tidak punya uang, saya kesini dibiayai anak saya” Kami petugas yang menunggui akhirnya hanya bisa mengambil nafas panjang.
Untunglah, meski tidak terlalu cerdas sebagai tim Lembaga Bahts Masail, saya masih ada di group para Kiai itu yang membuat saya bisa berkonsultasi. Bagaimana menyikapi jamaah-jamaah sepuh yang baru empat putaran thawaf sudah berhenti, baru tiga kali putaran sudah berhenti dan ndak mau lagi bertawaf atau bersa’i karena kondisi tubuh yang lemah. Sementara kami para petugas hanya bisa membantu memfasilitasi mereka untuk menjalankan ibadah terbaiknya.
Untunglah “al-fiqhu dzonniyyah” fikih itu cukup presumptive atau dugaan kuat. Tidak harus berupa kebenaran hakiki yang tidak mungkin ditolak. Ulama menyatakan hukum berdasar indikator-indikator dalil yang mereka baca. Cara baca dalil itupun akan berbeda dengan berbedanya khasanah baca dan faktor lain yang melatar belakanginya. Disinilah kemudian muncul “ikhtilaful aimmah rahmah” perbedaan ulama dalam membaca dan menganalisa sebuah teks Quran dan Hadits akan menjadi rahmat bagi ummat Muhammad.
Betapa upaya kita tidak membatasi kajian dalam satu madzhab akan menyebabkan kita bisa lebih banyak memberikan solusi kepada ummat. Dalam rapat penentuan kebijakan murur, Kementerian Agama mengajukan beberapa permintaan fatwa kepada berbagai ormas agama yang ada di Indonesia. Beberapa ormas memberi alternatif solutif, terutama LBM PBNU yang memberikan banyak alternatif pilihan sebagaimana umumnya keputusan LBM hanya memberi pilihan dan tidak mematok pada satu pilihan saja. Karena kondisi yang berubah terus, tidak mungkin kita memaksakan mengikuti cara ibadah Rasulullah yang dalam prakteknya pun kita masih harus membaca teks, yang cara bacanya pasti tetap pantas diperdebatkan. Al-hukumu yataghayyar bi taghayyuri zaman wal amkinah. Hukum berubah sesuai perubahan zaman dan keadaan suatu tempat.
Disini pula kita bisa mencerna dawuh Nabi: “Addinu yusrun, Lan Yusaddidu addina ahadul illa ghalabahu...” agama itu mudah, tidaklah seseorang memperberat agama kecuali ia akan dilemahkan oleh agama. Beragama haruslah menyenangkan tidak memberatkan atau membuat kita bersedih karena tidak mampu menjalankan. Wallahu a’lam. (*)