Klaim Anak Angkat Sebagai Anak Kandung di Akta Kelahiran

TANYA: Salam, Gus beberapa waktu lalu saya ikut ngaji salah seorang ustadzah secara live di youtube. Dalam sesi tanya jawab, ada yang tanya bagaimana kalau mencatatkan nama anak angkat sebagai anaknya di akte kelahiran itu termasuk kebohongan atau gak? Sang ustadzah menjawab kalau untuk keperluan dokumen negara, menurutnya gapapa. Tapi kalau sudah urusan syariat, misalnya wali pernikahan atau masalah waris, maka tidak boleh menyamakan dengan anak kandung. Mohon penjelasannya secara agama dan kenegaraan menurut njenengan.
Rara +62 856-4528-xxxx
JAWAB: Wa’alaikumussalam. Dalam perspektif saya, administrasi negara adalah termasuk dalam syariat. Karena ia merupakan alat bukti bagi klaim anak, wali nikah dan waris. Merawat anak asuh berpahala besar, tetapi pahala itu menjadi hilang bila ia melakukan penyelewengan yang berakibat kurang baik secara fikih maupun hukum kenegaraan.
Kantor Urusan Agama (KUA) dalam menentukan wali nikah mendasarkan pada akta kelahiran. Begitu juga catatan nasab anak kandung dari siapa itu didasarkan pada akta kelahiran tentu menjadi rancu dan repot bila didikotomikan antara administrasi fikih dan hukum kenegaraan.
Menurut pasal 39 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Pelanggaran terhadap pasal 39 ayat (2) merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Aturan dalam pasal 39 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2003 ini sangat sesuai dengan aturan syariat dimana seorang anak tidak boleh diubah nama orang tuanya hanya karena pergeseran pengasuhan dari orang tua kandung ke orang tua angkat.
Penggelapan asal-usul anak juga dapat dijerat dengan pasal 277 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa dengan suatu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul seseorang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Perbuatan mengurus akta kelahiran bayi yang bersangkutan di kantor catatan sipil setempat yang mengakibatkan asal usul bayi tersebut menjadi tidak jelas adalah tindak pidana.
Dalam tinjauan hukum Islam mengadopsi atau mengasuh anak orang lain dengan menjadikan nasab sang anak ke orang yang memelihara, tidak diperkenankan karena dapat merusak jalur nasab seseorang. Seperti contoh Maymoen Ibn Rudianto, kemudian karena diasuh oleh Santoso kemudian di-aktekan dan diumumkan jadi Maymoen Ibn Santoso. Padahal Santoso hanya yang memeliharanya dan bukan ayah kandungnya. Praktek seperti ini hukumnya haram.
Jika seseorang mengadopsi dalam artian sekedar memelihara anak orang lain dan tidak merubah nasab ayah ibunya ke pemelihara, serta tidak dianggap seperti anak sendiri/tetap bukan mahrom (tidak berhaq waritsan, haram ihthilat dll), maka hal itu tentu dianjurkan sebagaimana dijelaskan dalam Al Halal wal Harom fil Islam hlm 218.
Bisakah anak adopsi menjadi mahram? Sebagaimana penjelasan Al Bajuri 2/181 anak adopsi memungkinkan menjadi mahram bila disusui oleh ibu pengadopsi saat anak tersebut belum berumur 2 tahun dan tidak kurang dari 5 kali susuan.
Kesimpulannya, sebaiknya tidak ada upaya dikotomi aturan kenegaraan dan syariat dalam masalah adopsi anak. Mengasuh anak orang lain untuk menjamin sang anak mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik adalah sunnah tetapi tidak boleh berlebihan hingga merubah catatan nasabnya baik secara kenegaraan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Moga Dapat Dipahami, Wallahu a’lam bissowab. (*)

Oleh: Gus Achmad Shampton, M.Ag Kepala Kemenag Kota Malang

Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 27 Desember 2024

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.