PEREMPUAN PENJAGA SURGA

Oleh: Ernawati

Di sebuah desa kecil di Jawa Timur, hiduplah seorang perempuan bernama Siti. Sejak kecil, ibunya selalu berpesan, "​Nak, perempuan itu penjaga surga. Tanpa perempuan, dunia akan kehilangan cahayanya”. Pesan ini terpatri dalam hati Siti dan membentuk pandangannya tentang peran perempuan dalam kehidupan.​ Siti memiliki semangat belajar yang tinggi. Namun, keterbatasan akses pendidikan dan norma budaya yang menempatkan perempuan di ranah domestik menjadi hambatan besar baginya. ” Bu, kata guru ngajiku, perempuan bukan hanya penjaga surga tapi surga berada di telapak kaki IBU”. Ucap siti pada suatu sore sembari membantu ibunya mengangkat pakaian dari jemuran.

Siti tumbuh menyaksikan ibunya bekerja tanpa lelah, mengurus rumah tangga, mendidik anak-anaknya, dan menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal ayahnya 5 tahun yang lalu, namun ibunya selalu tersenyum meski kelelahan tampak di wajahnya. Ia mulai memahami bahwa menjadi "penjaga surga" bukan hanya tentang mengurus rumah, tetapi juga tentang ketangguhan, cinta, dan pengorbanan.​

Namun, di balik itu semua, Siti juga menyadari betapa kuatnya pengaruh budaya patriarki dalam kehidupan mereka. Perempuan di desanya sering kali tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki, baik dalam pendidikan maupun pekerjaan. Peran perempuan masih dibatasi dalam ranah domestik, sementara keputusan-keputusan besar dalam keluarga dan masyarakat cenderung dipegang oleh laki-laki. Bahkan, banyak perempuan yang terpaksa menghentikan pendidikannya demi membantu pekerjaan rumah atau menikah di usia muda. Pemikiran ini telah mengakar kuat dan sulit diubah, sehingga membuat perempuan seperti Siti harus berjuang lebih keras untuk mencapai impiannya.

Saat beranjak dewasa, Siti melihat dunia luar desanya. Ia melanjutkan kuliah sambil bekerja menjadikanya bertemu dengan perempuan-perempuan inspiratif yang memperjuangkan hak dan kesejahteraan komunitas mereka. Salah satunya adalah Musriyah, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung, Jakarta. Meski tidak tamat sekolah dasar, Musriyah berhasil menjadi ketua Sekolah Perempuan di komunitas miskin kota Jakarta. Selama 15 tahun, ia mengelola Posko Perempuan Tanggap Bencana, membantu warga yang terkena dampak bencana, terutama lansia, balita, ibu hamil, dan perempuan. Keberanian dan kepemimpinannya menginspirasi perempuan di sekitarnya untuk lebih berani dan kritis. (Perempuan Tangguh di Pedesaan Indonesia: Kisah Inspiratif dari Pelosok Indonesia)

Siti juga terinspirasi oleh Suharni, seorang pemeluk agama Buddha yang memimpin Sekolah Perempuan di desa Sokong, Lombok Utara, NTB, di tengah komunitas yang mayoritas Muslim. Keberanian Suharni sebagai minoritas yang memimpin mayoritas adalah hal yang langka. Ia berpendirian bahwa semua perbedaan harus dihormati dan menerapkan prinsip ini dalam keluarga dan komunitasnya. Suharni gigih mengadvokasi hak-hak warga miskin, terutama untuk mendapatkan jaminan kesehatan, meski menghadapi tantangan berat, termasuk tuduhan menyebarkan ajaran sesat. ​

Kisah lain yang menginspirasinya adalah Anita Hartono, yang membangun bisnis kombucha bersertifikasi halal, Mambucha, bersama karyawan yang 90% didominasi oleh perempuan dan yatim piatu. Anita memanfaatkan platform teknologi seperti Tokopedia dan video singkat TikTok untuk memberikan edukasi kepada masyarakat akan manfaat mengonsumsi kombucha terhadap kesehatan. Pada tahun 2023, penjualan Mambucha di Tokopedia mengalami kenaikan hampir 6 kali lipat dibandingkan 2022, dengan kontribusi hampir 50% terhadap keseluruhan penjualan Mambucha. ​

Ia juga mengenal sosok inspiratif lainnya, seperti Susi Susanti, atlet bulu tangkis yang meraih medali emas pada Olimpiade Barcelona 1992, dan Liliyana Natsir, yang merebut medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Ada juga Butet Manurung, penggagas Sokola Rimba yang membantu pemerataan pendidikan di Indonesia, serta Alamanda Shantika, pendiri Binar Academy yang fokus pada edukasi dan mendorong lebih banyak perempuan untuk maju dalam profesi yang dianggap hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. ​

Dari kisah-kisah ini, Siti menyadari bahwa menjadi "Penjaga Surga" bukan hanya tentang peran domestik, “sumur, kasur dan dapur” tetapi juga tentang keberanian, kepemimpinan, dan kontribusi nyata bagi masyarakat. Perempuan memiliki peran penting dalam membentuk peradaban, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan membawa perubahan positif di sekitarnya. Siti bertekad untuk mengikuti jejak mereka, menjadi perempuan yang tidak hanya menjaga surga bagi keluarganya, tetapi juga bagi komunitas dan bangsanya.

Perjalanan Siti membawanya untuk lebih mendalami peran perempuan dalam Islam. Ia menemukan bahwa dalam sejarah Islam, terdapat banyak tokoh perempuan yang berperan signifikan. Misalnya, Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai pebisnis sukses dan pendukung utama dakwah Nabi. Ada juga Aisyah binti Abu Bakar, yang dikenal karena kecerdasannya dan kontribusinya dalam periwayatan hadits.​Sejarah para ummul mukminin ini, membakar semangat Siti untuk menuntaskan pendidikan dan membangun kesetaraan kaumnya.

Dengan tekad kuat, Siti berhasil menyelesaikan pendidikannya. Semangat para tokoh menginspirasi Siti untuk kembali ke desanya dan berbuat sesuatu bagi komunitasnya. Dengan segala keterbatasan, ia mulai mengajar anak-anak perempuan di desanya agar mereka tidak hanya bisa membaca dan menulis, tetapi juga memahami hak-hak mereka sebagai perempuan. Meski mendapat tentangan dari sebagian warga yang masih memegang teguh budaya patriarki, Siti tidak menyerah.

Lambat laun, keberanian Siti mulai membuahkan hasil. Beberapa perempuan di desanya mulai mengikuti jejaknya dengan berbagi ilmu dan keterampilan yang mereka miliki. Siti juga mulai memperjuangkan akses pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak perempuan, mengajak mereka untuk berani bermimpi lebih besar dan memperjuangkan masa depan mereka sendiri.

Siti memahami bahwa budaya patriarki tidak bisa diubah dalam semalam. Namun, ia percaya bahwa setiap langkah kecil yang diambilnya dapat membawa perubahan besar di masa depan. Dengan semangat dan ketekunan, ia terus berjuang agar perempuan di desanya memperoleh kesetaraan yang selama ini sulit mereka capai. ”Perempuan adalah pendidik yang utama dan pertama dalam keluarga, Ibu – ibu jangan bosan untuk terus belajar dengan hadir di majlis ini” terang siti suatu sore pada ibu – ibu yang hadir kegiatan majlis taklim. Disetiap akhir pekan Siti mengumpulkan ibu – ibu di kampungnya, tidak hanya belajar menulis dan membaca huruf latin tetapi juga belajar membaca huruf hijaiyah (Al-Qur’an) dan berbagai kegiatan lain. Bahkan siti menghadirkan teman – teman kuliahnya untuk memberikan ketrampilan pada ibu – ibu bagaimana mengelola limbah atau sampah dapur menjadi kerajinan yg bernilai dan juga memanfaatkan lahan pekarangan yang kosong dengan aneka tanaman toga. Karena perempuan bukan hanya ”penjaga surga” tapi harus memberikan surga, maka harus memperoleh pendidikan yang layak agar memiliki pengetahuan yang memadahi untuk anak -anak dan keluarganya. Perempuan memiliki peran yang sangat penting untuk menciptakan generasi yang berkualitas dalam membentuk masyarakat yang adil dan sejahtera.

Kisah Siti adalah gambaran nyata tentang perjuangan perempuan melawan belenggu budaya patriarki yang masih kuat mengakar di banyak wilayah di Indonesia. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh para perempuan inspiratif yang ditemuinya, perubahan selalu mungkin terjadi jika ada keberanian, ketekunan, dan solidaritas di antara perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Siti bertekad untuk terus belajar dan berkontribusi bagi komunitasnya, mengikuti jejak para perempuan inspiratif.​

Penulis merupakan Penyuluh Agama Islam di Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang saat ini tengah menempuh studi Magister (S2) dalam Program Kajian Wanita di Sekolah Pascasarjana Universitas Brawijaya.

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.