Menelusuri Benteng Pendem Van den Bosch

oleh Dr. Febrian Taufiq Shaleh

Saya menginjakkan kaki di Benteng Pendem Van den Bosch, Ngawi, seperti menjejak ruang bawah tanah sejarah yang lama dikubur. Tidak dalam artian harfiah saja—benteng ini memang "terpendam" karena dibangun lebih rendah dari tanah sekitar—tetapi juga dalam makna simbolik: jejak luka masa lalu yang dikubur oleh buku pelajaran sejarah yang terlalu "netral".

Benteng itu dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1839, hampir satu dekade setelah perang Diponegoro yang membuat Jawa berdarah-darah. Tapi sesungguhnya, akar dari bangunan ini tumbuh dari tanah perang yang lebih tua: Perang Jawa (1825–1830). Perang itu adalah perlawanan terakhir yang sangat sistematis dari bangsawan Jawa terhadap hegemoni kolonial. Dan Belanda panik. Sebegitu paniknya, mereka tidak hanya mengerahkan senjata, tapi juga strategi dua wajah: "benteng stelsel" dan "culture stelsel".

Van den Bosch, nama yang tertulis di gerbang benteng itu, bukan cuma gubernur jenderal biasa. Ia bukan sekadar tukang bangun benteng, tapi juga arsitek dari dua kebijakan besar: benteng stelsel (sistem perbentengan militer) dan culture stelsel (tanam paksa). Dua senjata kembar yang menggandeng perut dan bayonet dalam satu gerakan.

Benteng Van den Bosch bukan cuma untuk menahan musuh. Ia adalah manifestasi paranoia kolonial. Setelah Diponegoro ditangkap lewat tipu daya di Magelang, Belanda sadar bahwa perlawanan semacam itu bisa muncul lagi, kapan saja, dari mana saja. Maka benteng didirikan di titik-titik strategis: di jalur logistik, di tengah jalur Bengawan Solo, di jantung Mataraman. Ngawi adalah simpul.

Van den Bosch dibangun bukan untuk menang perang, tapi untuk mencegah rakyat punya keberanian untuk memulai perang. Ia menjadi mata dan telinga kolonial. Dindingnya tebal, namun sepi; saksi dari betapa senyapnya penjajahan yang sudah beralih dari meriam menjadi meja administrasi, dari perang frontal ke pengurasan hasil bumi.

Di tahun-tahun setelahnya, ketika culture stelsel menggiring rakyat menanam kopi dan tebu untuk Belanda—bukan untuk makan, tapi untuk menyetor keuntungan ke negeri nun jauh itu—benteng ini tetap berdiri. Seperti menara pengawas ladang-ladang tanam paksa yang mengeringkan punggung petani Jawa.

Tapi sejarah punya cara membalas. Sekarang benteng itu terbuka untuk umum. Dindingnya berlumut, ruang tahanannya sunyi. Tapi di dalamnya, suara masa lalu tetap menggaung. Suara tentang perjuangan, tentang pengkhianatan, dan tentang sistem kolonial yang tidak cuma menjajah tanah, tapi juga pikiran.

Saya keluar dari benteng itu dengan langkah berat. Bukan karena lelah, tapi karena sadar: betapa sejarah kita dipendam terlalu dalam. Seperti benteng ini—ia harus dibongkar kembali, dibersihkan, dan dihidupkan bukan sekadar untuk swafoto, tapi untuk mengingat: bahwa kolonialisme bukan hanya penjajahan, tapi juga sistem. Dan sistem itu pernah bertengger di jantung Ngawi, berdiri atas nama seorang Jenderal yang menganggap tanah ini sekadar papan catur.

iin nurjanah

Penulis yang bernama iin nurjanah ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai JFU Pada Seksi Pendma dan Tim Kerja Pengawasan.