Menurut Khoirul Huda, dalam artikelnya yang dimuat oleh kemenag.go.id, kepemimpinan negara dan agama pada hakikatnya adalah satu tarikan nafas, ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan.Terlebih dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, seorang yang memimpin negara, ia hakikatnya juga memimpin urusan agama, begitu juga, orang yang memimpin urusan agama, ia hakikatnya juga menopang keberlangsungan negara. Relasi negara dan agama yang bersifat simbiosis mutualisme ini digambarkan dengan pas oleh Hujjatul Islam, Al Imam Muhammad bin Muhammad Al Ghozali dalam maha karyanya Ihya’ Ulumuddin dengan menyatakan:
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ Ulumiddin, tt, Beirut: Darul Ma’rifah, Juz 1, h. 17).
Umar bin Khatab Al Faruq RA menyatakan:
لا دين إلا بجماعة ولا جماعة إلا بإمامة ولا إمامة إلا بسمع وطاعة
“Tidak ada agama tanpa jama’ah/organisasi, tidak ada organisasi tanpa kepemimpinan dan tidak ada kepemipinan tanpa kepatuhan”.
Dua dalil ini menjelaskan tentang pentingnya loyalitas pada pimpinan dalam sebuah organisasi atau sebuah institus kepemerintahan. Kepatuhan kepada pimpinan adalah bagian dari keberagamaan seseorang. Meski dalam koridor tidak diperkenankannya taat atau loyal kepada makhluk Allah untuk sebuah kemaksiatan, tetapi loyalitas harus bisa dipertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Suatu hari Nabi Muhammad ditanya tentang seorang pemimpin yang selalu menuntut haknya pada stafnya selalu ingin didengar dan ditaati, tetapi ia tidak mau memberikan hak para staf dan orang lain. Nabi menunjukkan raut muka yang tidak suka, tetapi orang yang bertanya itu mengulang-ulang terus pertanyaannya. Nabi akhirnya menjawab:
اسمعوا لقولِهم، وأطيعوا أمرَهم؛ فإنما عليهم ما حُمِّلوا وما كُلِّفوا مِن العدل وإعطاء حق الرعية، وعليكم ما حُمِّلْتُم من الطاعة وأداء الحقوق والصبر على البلية.
Dengarkan apa yang mereka katakan, dan patuhi perintah mereka. Mereka hanya bertanggung jawab atas apa yang dibebankan kepada mereka dan apa yang ditugaskan kepada mereka, atas keadilan dan memberikan hak-hak kepada subyek, dan Anda bertanggung jawab atas apa yang diperintahkan kepada Anda, yaitu ketaatan, pelaksanaan hak, dan kesabaran dalam menjalankan tugas. menghadapi bencana.
Hadits Riwayat Muslim ini mengisyaratkan bahwa pimpinan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan terhadap staf dan rakyatnya. Pemimpin menanggung beban atas kepemimpinannya dihadapan Allah sementara anak buah, staf dan rakyat akan menanggung beban pertanggungjawaban atas kewajiban loyal pada pimipinan. Artinya, sebenci apapun kita pada pimpinan, sedzalim apapun pimpinan kita selama tidak diperintahkan maksiat, kita wajib loyal karena loyalitas itulah yang akan kita pertanggungjawabkan sebagai anak buah.
Bagi ASN, loyalitas ASN, sesuai dengan sumpah jabatannya, selalu mengacu pada Konstitusi dan kepentingan publik. Loyalitas kepada Konstitusi dan publik dapat dijelaskan melalui muatan moral dari sumpah jabatan serta konsep institutional loyalties maupun dikotomi politik-administrasi. Begitu juga seorang pimpinan harus mengarahkan kebijakan dan perintahnya pada koridor konstitusi dan kepentingan publik.
Sedangkan upaya untuk memupuk loyalitas tersebut dapat ditempuh dengan menginternalisasikan pemahaman bahwa ASN merupakan fiduciaries/kepercayaan dari masyarakat atau publik. Dengan demikian, nilai loyal yang saat ini telah diatur dalam UU ASN berimplikasi bahwa ASN sebagai pelayan publik dituntut untuk loyal pada Konstitusi dan publik, bukan pada kepentingan partisan dan jangka pendek. Loyalitas seorang ASN banyak ditentukan seberapa dalam pemahaman keagamaan dan integritas untuk terus patuh pada konstitusi. Jadi loyal pada institusi pelayan masyarakat itu juga bagian dari ibadah dan sunnah yang diperintahkan Rasulullah.
Bagi ASN, loyalitas pada institusi dalam pelayanan publik harus dilakukan dengan:
- dilakukan secara iktikad baik (bona fides);
- dilakukan dengan proper purpose;
- dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab (unfettered discretion);
- tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan (conflict of duty and interest).
Kinerja baik berhidmah kepada Masyarakat hanya dilakukan dengan Loyalitas prima bukan Loyolitas artinya loyo tanpa inovasi dan kerja dengan etos tinggi.
Wallahu a'lam