Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada dalam rombongan pelayat Jenazah, lalu beliau mengambil sesuatu dan memukulkannya ke tangah. Kemudian beliau bersabda: "Tidak ada seorang pun, kecuali tempat duduknya telah ditulis di neraka dan tempat duduknya di surga." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau begitu, bagaimana bila kita bertawakkal saja terhadap takdir kita tanpa beramal?" beliau menajawab: "Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan penciptaannya. Barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlus Sa'adah (penduduk surga), maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan Ahlus Sa'adah. Namun, barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlusy Saqa’ (penghuni neraka), maka ia akan dimudahkan pula untuk melakukan amalan Ahlusy Saqa`." Kemudian beliau membacakan ayat:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُیَسِّرُهُۥ لِلۡیُسۡرَىٰ
Dan barangsiapa yang memberi, dan bertakwa serta membenarkan kebaikan pasti akan Kami mudahkan baginya menuju kebahagiaan.
Beberapa poin yang menjadi indikator umum seorang ahlu saadah adalah:
- Mudah menerima nasehat atau mudah diingatkan sebagaimana pesan Quran dalam surat al-A’la سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى yang bisa menerima peringatan hanyalah orang yang takut pada Allah.
- Berhati-hati dalam menerima sesuatu karena ia senantiasa memperhatikan pesan Quran :يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ إِنِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ wahai para rasul makanlah segala yang baik dan perbanyaklah amal shalih sesungguhnya Aku (Allah) mengetahui segala yang kamu lakukan. Meski ayat ini spesifik menyebut Rasul, tetapi sebagai umat Rasul tentu isyarat ini juga untuk seluruh umat, makanlah dari rizki yang baik yang dapat memberi energi untuk beramal shalih.
Perintah mengkonsumsi sesuatu yang halal ini menjadi tuntutan karena Imam A’masy menegaskan:
من اكل الحلال اطاع الله احب ام كره ومن اكل الحرام عصى الله احب ام كره
barangsiapa yang mengkonsumsi harta halal ia akan taat kepada Allah meski dengan terpaksa, barang siapa yang mengkonsumsi harta haram ia akan maksiat kepada Allah meski dengan keterpaksaan.
Memperhatikan peringatan Imam A’masy ini, Imam Ghazali memberikan peringatan bahwa bagi seseorang yang menerima sesuatu dari orang lain, ia harus memperhatikan dahulu apakah sesuatu yang diberikan bersumber dari sesuatu yang bersih dan proses yang bersih? Bila yang diberikan adalah sesuatu yang bersumber dari harta haram harus ditolak dan ditinggalkan. Inilah kenapa seorang koruptor yang kaya raya, tidak mempunyai kewajiban berzakat dan kalaupun ia mengeluarkan hartanya untuk kita, kita harus menolaknya karena harta yang ia keluarkan hakekatnya bukan hartanya dan kita tidak boleh menerimanya karena harta yang diberikan adalah harta kotor bersumber dari sumber yang kotor. Islam tidak mengenal money laundry, yang memunculkan persepsi harta haram bila disedekahkan sebagian maka sebagian yang lain menjadi halal. Padahal kemanapun harta haram didistribusikan harta itu hanyalah kotoran yang mengotori penerimanya.
- Membersihkan hati, Imam Sahl at-Tusturi menasehatkan:
من صفا من الكدر وامتلأ من العبَر واستوي عنده الذهب والمدر استغنى الله من البشر
barangsiapa yang membersihkan hatinya dari kotoran (hati dari penyakit hati), dan memenuhi hatinya dengan senantiasa mengambil pelajaran (dari mana saja sumbernya) dan menganggap sama antara harta dan kotoran, (tidak memandang istimewa harta) maka Allah akan membuatnya tidak bergantung pada manusia. Dan inilah kunci integritas seseorang.
Bila tiga ciri ini tidak ada dalam diri kita, mungkin patut waspada jangan-jangan kita ahlu saqa’ calon penghuni neraka karena Rasulullah sudah menegaskan: كل مُيَسَّرُ لِمَا خُلِقَ لَهُ tiap manusia akan dimudahkan untuk melakukan segala sesuatu sesuai penciptaannya. Bila keculasan, kecurangan dan kemungkaran lainnya ringan kita lakukan, sementara menjalankan kebaikan terasa sangat berat, kita patut waspada jangan-jangan kita calon penghuni neraka. Bila kita tidak lagi memandang orang atas setiap kebaikan, tidak memfitnah atas prestasi orang lain dan senantiasa mensupport segala kebaikan dari siapapun sumbernya, maka kita pantas berharap termasuk golongan ahlu saadah calon penghuni surga. Sebagai ASN Kementerian Agama, apakah perilaku kita mencerminkan sosok ahlu saqa’ atau saadah? Berintegritas atau Tidak? Kemana kita ringan melakukan kebaikan atau keburukan, ke situlah taqdir kita. Wallahu a’lam