Kisah Imam Ahmad Zaini Dahlan, seorang guru yang melahirkan banyak ulama terkemuka di Nusantara, menyentuh kalbu. Ketika ditanya mengapa beliau memilih pakaian sederhana dan hidangan biasa, jawabannya sarat hikmah: "Aku khawatir, jika mengenakan pakaian baru, hati saudara-saudaraku yang kurang beruntung akan terluka karena ketidakmampuan mereka." Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa hari raya bukanlah tentang gemerlap pakaian atau pesta pora. Idul Fitri dan Idul Adha, dua momen istimewa dalam kalender Islam, seringkali disalahpahami, bahkan esensinya terdistorsi. Tak jarang, hari raya justru dijadikan ajang hura-hura, padahal ia adalah kulminasi dari ketaatan dan ibadah yang telah ditunaikan.
Idul Fitri menandai rampungnya Ramadan, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan pergulatan melawan nafsu yang berlebihan, menundukkan hasrat duniawi. Idul Adha, di sisi lain, adalah napak tilas ketaatan Nabi Ibrahim AS pada perintah Ilahi. Kedua hari raya ini berakar kuat pada spiritualitas, pada pengabdian yang mendalam.
Hari Raya: Anugerah Bagi Mereka yang Taat
Hari raya bukanlah hadiah yang jatuh dari langit tanpa usaha. Ia adalah anugerah bagi jiwa-jiwa yang gigih menjalankan titah Ilahi. Idul Fitri adalah perayaan bagi mereka yang berhasil mengendalikan diri selama Ramadan, yang malam-malamnya dihiasi dengan munajat, yang lisannya terjaga dari kata-kata nista. Idul Adha adalah syiar bagi mereka yang menghidupkan sunnah Ibrahim AS dengan berkurban, simbol kepasrahan total kepada Sang Khalik.
Merayakan hari raya dengan hura-hura, melupakan inti ibadah yang telah dijalani, sesungguhnya mereduksi makna luhurnya. Pesta pora yang berlebihan, kesenangan yang melampaui batas, dan segala bentuk kegembiraan yang melenakan dari dzikrullah, justru bertentangan dengan ruh hari raya. Ibarat seseorang yang bersusah payah berdiet sebulan, lalu setelahnya melahap segala yang terlarang. Kemenangan melawan nafsu syahwat dirayakan dengan menuruti bisikan setan. Sebuah ironi yang mendalam.
Hari Raya: Syukur Atas Ibadah yang Diupayakan Sempurna
Imam Ali Karramallahu Wajhah, ketika menjabat khalifah, pernah didatangi seorang warganya. Betapa terkejutnya ia melihat sang pemimpin hanya mengenakan pakaian sederhana dan menyantap roti kasar tanpa lauk. Makanan yang lazim bagi rakyat jelata. Orang itu bertanya, "Wahai Khalifah, bukankah hari ini hari raya? Mengapa pakaianmu begitu sederhana dan hidanganmu seadanya?" Imam Ali menjawab dengan kata-kata yang menukik hati: "Hari raya bukanlah untuk mereka yang berbalut pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi mereka yang imannya bertambah. Hari raya bukan tentang baju yang indah dan kendaraan yang mewah, tetapi hari raya adalah milik mereka yang dosanya diampuni. Hari raya bukan untuk mereka yang makan enak dan bersenang-senang menuruti syahwat dan kenikmatan dunia, tetapi hari raya adalah milik orang yang diterima taubatnya dan catatan buruknya diganti dengan catatan kebaikan. Hari ini adalah hari raya, esok pun hari raya, setiap hari di mana kita tidak bermaksiat kepada Allah adalah hari raya bagi kita."
Kesempurnaan ibadah di sini bukanlah tanpa cela sedikit pun, melainkan ikhtiar maksimal seorang hamba. Hari raya adalah momentum untuk merayakan keberhasilan dalam menaklukkan ego, dalam meningkatkan kualitas pengabdian, dan dalam mempererat jalinan dengan Ilahi.
Oleh karena itu, perayaan hari raya selayaknya diisi dengan ungkapan syukur yang tulus, memperbanyak takbir, tahmid, dan tahlil, serta memperkokoh tali silaturahmi. Berbagi kebahagiaan dengan sesama, terutama mereka yang terpinggirkan, adalah bagian tak terpisahkan dari semangat hari raya. Mengapa berhura-hura? Berpesta ria? Bukankah ironis merayakan kemenangan atas hawa nafsu dengan menuruti hawa nafsu di hari yang fitri ini?
Refleksi di Hari Raya: Mengukur Diri, Memperbarui Komitmen
Mari kita jadikan hari raya sebagai cermin untuk merenungkan kembali ibadah yang telah kita lakukan. Apakah puasa Ramadan telah mewarnai kehidupan kita dengan nilai-nilai luhur? Apakah kurban yang kita persembahkan di Idul Adha telah menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap sesama?
Sadarkah kita bahwa sesungguhnya Allah tidak memerlukan ibadah kita? Telitilah, setiap ibadah selalu diukur dari seberapa besar manfaatnya bagi sesama. Termasuk hari raya, yang ditandai dengan zakat fitrah dan kurban, adalah manifestasi kepedulian sosial.
Hari raya adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi diri, memperbaiki kekurangan, dan memantapkan tekad dalam menjalankan perintah Allah SWT. Bukan waktunya untuk hanyut dalam kesenangan yang melupakan esensi ibadah, melainkan waktunya untuk bersyukur, berbagi, dan memperkuat ketaatan kepada Sang Pencipta. Rasulullah SAW bersabda, "Perindahlah hari rayamu dengan mengagungkan Allah." Mari kita resapi makna mendalam ini.
artikel ini disadur dari artikel yang dimuat di jatimsatunews yang berjudul hari raya kenapa hura hura