Di tengah berbagai upaya reformasi birokrasi, Indonesia masih menghadapi masalah yang tak kunjung usai: rendahnya integritas sebagian aparatur sipil negara (ASN). Padahal, sistem sudah dibuat sedemikian rupa, mulai dari zona integritas, pelatihan kode etik, hingga evaluasi kinerja. Tapi satu hal sering dilupakan: bahwa integritas bukan semata urusan aturan, melainkan soal hati.
Di sinilah warisan keilmuan Islam klasik berbicara. Salah satunya melalui kitab Hayātun Nufūs, karya Imam Abdullah bin Abubakar al-‘Aydrūs, beliau seorang ulama sufi dari Hadramaut yang mengulas secara mendalam tanda-tanda jiwa yang bahagia. Dalam pandangannya, akar kebahagiaan seseorang adalah satu: akhlak yang baik (khusnul khuluq).
Mengenal Kitab Hayātun Nufūs
Kitab ini tidak tebal, tetapi isinya padat makna. Al-‘Aydrūs menuliskan bahwa tanda orang yang mendapatkan kebahagiaan sejati adalah hasan al-khuluq (akhlak yang baik). Bukan sekadar sopan santun, tapi mencakup kesabaran, keikhlasan, kerendahan hati, dan kekuatan iman.
Lebih lanjut, ia menyebutkan ciri-ciri jiwa yang sehat:
- Al-qanā‘ah (merasa cukup, tidak rakus),
- At-tark al-hasad (meninggalkan iri),
- Katsratul ‘ibādah (rajin beribadah),
- Ash-shamtu (menjaga lisan dari ghibah dan fitnah),
- Taruk al-kasāl (menghindari malas),
- dan Quwwatul īmān (iman yang kokoh).
Akhlak-akhlak ini bukan teori di awang-awang, tapi justru sangat relevan bagi profesi yang menuntut tanggung jawab publik yaitu ASN.
ASN: Integritas Bukan Sekadar Kepatuhan
Selama ini, integritas dalam birokrasi sering dipahami secara legalistik: taat aturan, tak melanggar prosedur, tak menyalahgunakan jabatan. Namun itu baru permukaan. Kitab Hayātun Nufūs menawarkan kedalaman: bahwa integritas tumbuh dari jiwa yang jernih dan hati yang terdidik.
Mari kita bandingkan:
Nilai dalam Hayātun Nufūs : Sikap ASN Berintegritas
- Hasan al-khuluq : Jujur, adil, sopan dalam pelayanan
- Ash-shamtu wa sakīnah : Menjaga lisan, tidak menyebar isu
- At-tark al-hasad : Tidak iri terhadap promosi orang lain, mendukung tim
- Al-qanā‘ah : Tidak tamak jabatan, menolak suap
- Zuhd : Tidak silau pada materi; fokus pada amanah
- Katsrat al ‘ibādah : Rajin beribadah; punya koneksi spiritual yang kuat
Kita butuh ASN yang bukan hanya paham regulasi, tetapi juga memiliki kesadaran spiritual. Karena seseorang yang takut melanggar aturan mungkin akan taat bila diawasi. Tapi seseorang yang takut kepada Allah, akan jujur bahkan saat tak terlihat.
Etika Sufi dalam Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi seringkali gagal bukan karena sistemnya buruk, tapi karena manusianya belum berubah. Dalam berbagai survei internal, kelemahan terbesar berada pada lemahnya “nilai internal”.
Kitab seperti Hayātun Nufūs bisa menjadi sumber nilai untuk program pembangunan karakter ASN. Bagaimana caranya?
- Tarbiyah ruhiyah melakukan pembinaan spiritual mingguan di kantor
- Tausiyah akhlak dalam apel pagi
- Pelatihan etika berbasis nilai-nilai sufistik seperti as-sidq (jujur), al-amānah (amanah), dan al-‘adl (adil)
Konsep Islam “sayyidul qawm khādimuhum” (pemimpin adalah pelayan umat) harus menjadi roh dalam pelayanan publik.
Menghidupkan Jiwa dalam Sistem
Kitab Hayātun Nufūs bukan sekadar teks klasik. Ia adalah cermin untuk ASN hari ini: bahwa jabatan adalah amanah, pelayanan adalah ibadah, dan integritas adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.
Jika sistem birokrasi hanya mengandalkan sanksi dan aturan, ia akan lelah mengawasi. Tapi bila birokrasi disokong oleh orang-orang yang jujur karena takut kepada Tuhan, maka pengawasan menjadi ringan.
Integritas sejati lahir dari dalam. Maka mari hidupkan kembali etika sufi bukan untuk menggantikan sistem, tapi untuk menyuntikkan jiwa dalam sistem.
Daftar Pustaka (disarankan):
- Al-‘Aydrūs, Abdullah bin Abubakar. Hayātun Nufūs. Manuskrip klasik.
- Kemenpan RB. (2023). Panduan Pembangunan Zona Integritas Menuju WBK/WBBM.
- Shihab, M. Quraish. (2000). Wawasan Al-Qur’an. Mizan.
- Al-Ghazālī. (1990). Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Dar al-Fikr.