Arti Kemerdekaan : ASN, Amanah, dan Kebebasan dari Belenggu Nafsu

Pengantar

Dalam sebuah perjalanan menuju Yogyakarta, saya menemukan sebuah hadits yang begitu menarik hati saya. Hadis itu, yang dikemas dalam sebuah poster digital disebuah akun istagram, bagi saya ini bukan sekadar kutipan, melainkan sebuah cermin yang mengajak kita untuk merenung. Dan hadits yang dikutip ini memaksa jemari saya menari diatas tuts keyboard computer saya untuk berbagi renungan yang bersliweran di otak saya.

Di tengah perayaan kemerdekaan bangsa, kita seringkali larut dalam gemuruh acara dan semangat patriotisme yang membara. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah kemerdekaan yang sesungguhnya?

Kemerdekaan sejati, hemat saya, bukanlah semata-mata terbebas dari penjajahan fisik. Lebih dalam dari itu, ia adalah tentang kemerdekaan batin, sebuah kebebasan dari belenggu yang tak terlihat. Kita mungkin tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun ironisnya, sebagian dari kita masih terpenjara oleh hawa nafsu, terikat oleh balas budi, dan terkungkung dalam loyalitas semu kepada kekuasaan. Inilah penjajahan yang paling halus namun paling berbahaya, sebab ia menggerogoti nurani, khususnya bagi mereka yang mengemban amanah publik: para Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kemerdekaan sejati, yang diisyaratkan oleh Rasulullah , adalah ketika jiwa mampu menolak ketidakbenaran, bahkan saat ia datang dari orang yang memiliki jasa. Bukankah ini jenis penjajahan yang paling lembut? Penjajahan yang membuat nurani tak lagi mampu bersuara. Di sinilah relevansi hadis tentang "jihad besar" menjadi terasa. Setelah Perang Badar, sebuah perang yang menegangkan, Rasulullah bersabda, “Kita baru saja kembali dari jihad kecil, dan sekarang kita menghadapi jihad yang lebih besar.” Saat para sahabat bertanya, “Jihad apa lagi, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Hadis Haudh: Peringatan Rasulullah atas Relasi Kekuasaan

Jihad terbesar bagi seorang ASN, yang tak jarang menuntutnya untuk "mempertaruhkan karier," adalah saat ia berhadapan dengan pimpinan yang kurang amanah. Kejujuran yang harus berhadapan dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, kita perlu meresapi makna sebuah hadis yang disampaikan oleh Rasulullah . Hadis itu, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, adalah peringatan yang menusuk kalbu:

أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ سَيَتَوَلَّى عَلَى النَّاسِ بَعْدَ مَوْتِهِ أُمَرَاءَ يَكْذِبُونَ فِي الْكَلَامِ فَيَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَظْلِمُونَ فِي الْحُكْمِ، فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ وَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ، أَوْ أَعَانَهُمْ بِفِعْلِ الظُّلْمِ أَوْ قَوْلِهِ كَالْإِفْتَاءِ لَهُمْ تَقَرُّبًا لَهُمْ وَرَجَاءَ مَا عِنْدَهُمْ؛ فَأَنَا بَرِيءٌ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنِّي، وَلَسْتُ مِنْهُ، وَلَا يَأْتِي عَلَيَّ حَوْضُ الْكَوْثَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَيُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَيُعْنِهِمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي، وَأَنَا مِنْهُ، وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Ketahuilah, akan ada setelahku para pemimpin. Barangsiapa masuk kepada mereka lalu membenarkan kebohongan mereka dan membantu mereka dalam kezaliman, maka ia bukan dariku dan aku bukan darinya, dan ia tidak akan mendatangiku di telaga (Haudh). Dan barangsiapa tidak masuk kepada mereka, tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak membantu mereka dalam kezaliman, maka ia dariku dan aku darinya, dan ia akan datang menemuiku di telaga.”

Betapa dalamnya makna kalimat itu. Telaga Haudh bukan sekadar simbol air kehidupan di akhirat, melainkan juga simbol penerimaan spiritual dari Rasulullah . Maka, siapa pun yang menodai amanah, membenarkan kebohongan, dan menutup mata atas kezaliman—bukan hanya berdosa secara sosial, melainkan juga terputus dari hubungan spiritual dengan Nabi Muhammad . Inilah alasan mengapa kejujuran seorang ASN di hadapan pemimpinnya adalah jihad besar, karena ia dihadapkan pada pilihan antara pengakuan Rasulullah yang tak kasat mata dengan pengaruh pimpinan yang ada di hadapannya.

ASN: Menjadi Wajah Negara dan Amanah Ilahi

Seorang ASN sejatinya bukan hanya abdi negara, melainkan juga hamba Allah yang terpilih untuk menunaikan amanah rakyat. Ia adalah wajah negara di hadapan masyarakat, mulai dari petugas pelayanan di desa hingga pejabat tinggi di kementerian. Namun, lebih dari itu, ia juga adalah penjaga moralitas birokrasi. Oleh karena itu, seorang ASN tidak boleh menjadikan jabatannya sebagai kendaraan ambisi pribadi, atau loyalitasnya sebagai tameng untuk menutupi kebijakan yang menindas. Ia harus bebas dari "penjajahan batin" agar bisa menjadi hamba yang jujur, bukan budak kekuasaan.

Hawa Nafsu dan Balas Budi: Dua Jerat yang Membelenggu

Dalam tradisi tasawuf, yang diteladankan oleh para ulama klasik, kemerdekaan sejati adalah saat seseorang mampu membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu dan keterikatan kepada manusia. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumuddin, pernah berpesan,

من تردد بين الأمراء فاحذروا انه لص

"Barangsiapa mondar-mandir di lingkungan para penguasa, waspadalah. Sesungguhnya ia adalah pencuri."

Ucapan ini bukanlah untuk merendahkan, tetapi sebagai sebuah peringatan bahwa kedekatan dengan kekuasaan membawa godaan yang sangat besar: harta, jabatan, pengaruh, dan bahkan perasaan bersalah jika tidak membalas "kebaikan" para pemimpin.

Namun, balas budi tidak boleh mengorbankan kebenaran. Sebab, kadang kala bentuk cinta tertinggi kepada seseorang adalah dengan menasihatinya—meski itu menyakitkan—karena kita ingin menyelamatkannya, bukan sekadar menyenangkannya. Di sinilah seorang ASN diuji, untuk memiliki tiga jenis kemerdekaan yang menjadi syarat utama bagi integritasnya.

Tiga Jenis Kemerdekaan yang Wajib Dimiliki ASN

  1. Kemerdekaan Nurani: Mampu menilai baik dan buruk bukan berdasarkan siapa yang melakukannya, tetapi pada nilai kebenarannya.
  2. Kemerdekaan dari Rasa Terutang: Menolak tekanan psikologis untuk membela kezaliman hanya karena "pernah dibantu" oleh pelakunya.
  3. Kemerdekaan dari Nafsu Jabatan: Tidak menjadikan loyalitas sebagai alat untuk meraih kedudukan lebih tinggi.

Inilah wujud tazkiyatun nafs, pensucian jiwa yang menjadi syarat seseorang untuk naik kelas secara ruhani dan sosial.

Refleksi Sufistik: Merdeka adalah Mampu Menolak Kebohongan

Dalam pandangan sufistik, seorang hamba hanya layak disebut merdeka jika ia tidak dikendalikan oleh kepentingan duniawi. Hatinya hanya takut kepada Allah, bukan kepada atasan atau opini publik. Ia tidak silau pada hadiah, tidak goyah oleh tekanan, dan tidak lumpuh oleh rasa tidak enak. Sebagaimana dikatakan oleh para arif, “Orang yang paling kuat adalah yang tetap berkata benar, walau seluruh dunia menolaknya.”

Penutup: ASN dan Pintu Haudh

Pada akhirnya, setiap ASN sejatinya sedang mempersiapkan jawaban, bukan hanya di hadapan auditor negara, tetapi juga di hadapan Sidang Mahkamah Rabbul ‘Alamin. Di sana, tidak ada "tolong-menolong" atau "loyalitas struktural." Yang ada hanyalah kejujuran dan amanah yang pernah dijaga.

Maka, kemerdekaan terbesar bukanlah yang dirayakan dengan upacara, melainkan kemerdekaan hati yang mampu berkata benar di hadapan kekuasaan yang zalim. Dan kelak, semoga kita semua layak mendapat syafaat dari Rasulullah dan termasuk yang ada dalam doa nabi:
والله إنها لدعوتي لأمَّتي في كل صلاة

demi Allah doaku untuk ummatku setiap habis shalat.

Achmad Shampton

Penulis yang bernama Achmad Shampton ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama .