Kasih Tanpa Batas dalam Masyarakat Majemuk Menjadi Samaria di Indonesia

Refleksi dari Lukas 10:33-37

Indonesia adalah negeri yang sangat terkenal oleh karena keindahan alamnya, dengan wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negeri dengan berbagai keragaman suku, agama, budaya, dan bahasanya. Kemajemukan ini adalah kekayaan yang tak ternilai dan membaggakan bagi bangsa Indonesia. Namun demikian kita harus menyadari bahwa di sisi lain, ada banyak potensi gesekan dan prasangka yang juga tidak dapat diabaikan begitu saja.

Di tengah dinamika sosial yang sangat kompleks ini, kisah tentang Orang Samaria yang Baik Hati sebagaimana tercatat dalam Injil Lukas 10:33–37. Kisah itu menawarkan refleksi yang mendalam dan sangat relevan bagi kita sebagai anak bangsa.

Dikisahkan dalam perumpamaan tersebut,adalah seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal. Yesus menjawab dengan perintah untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Ketika ahli Taurat bertanya lebih lanjut mengenai siapa sesamanya itu, Yesus mengisahkan tentang seorang yang dirampok dan ditinggalkan setengah mati di pinggir jalan. Seorang imam dan seorang Lewi lewat, namun keduanya memilih untuk menghindar. Justru seorang Samaria, yang pada masa itu dianggap sebagai kelompok yang rendah dan dimusuhi oleh orang Yahudi, tergerak hatinya oleh belas kasihan. Ia mendekati orang yang terluka itu, membalut lukanya, membawanya ke penginapan, dan bahkan menanggung biaya perawatannya.

Kisah ini menantang kita untuk merenungkan makna "sesama" dalam konteks Indonesia yang multikultural. Siapakah gerangan sesama kita? Apakah terbatas hanya pada mereka yang memiliki kesamaan suku, agama, atau pandangan dengan kita? Tindakan Orang Samaria yang Baik Hati dengan jelas menunjukkan bahwa kasih sejati tidak mengenal batas-batas etnisitas, keyakinan, atau status sosial. Ia melihat kebutuhan manusia yang mendesak dan bertindak tanpa memperdulikan perbedaan yang ada.

Di Indonesia, kita seringkali dihadapkan pada berbagai isu yang dapat memecah belah persatuan. Prasangka terhadap kelompok minoritas, diskriminasi berdasarkan identitas, dan kurangnya pemahaman antar kelompok dapat menjadi penghalang bagi terciptanya masyarakat yang harmonis. Kisah Samaria mengajak kita untuk melampaui sekat-sekat perbedaan ini dan melihat setiap individu sebagai sesama manusia yang berhak mendapatkan kasih dan pertolongan.

Lebih dari sekadar perasaan, kasih yang ditunjukkan oleh Orang Samaria adalah kasih yang aktif dan konkret. Ia tidak hanya merasa iba, tetapi ia bertindak nyata untuk meringankan penderitaan orang lain. Ia rela meluangkan waktu, tenaga, dan bahkan hartanya untuk menolong sesamanya yang sedang dalam kesulitan.

Refleksi ini sangat penting bagi kita di Indonesia. Menjadi "Samaria" di zaman sekarang berarti terlibat secara aktif dalam membantu sesama yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakangnya. Ini bisa berupa tindakan sederhana seperti menolong tetangga yang kesulitan, memberikan bantuan kepada korban bencana alam, atau bahkan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi kelompok yang termarjinalkan. Kasih yang kita berikan haruslah kasih yang nyata, yang dirasakan dampaknya oleh orang lain.

Kisah Orang Samaria juga menyoroti pentingnya menumbuhkan rasa empati dan solidaritas dalam masyarakat. Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, untuk memahami perspektif mereka, dan untuk turut merasakan penderitaan mereka. Solidaritas adalah rasa persatuan dan kebersamaan yang mendorong kita untuk saling membantu dan mendukung.

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, menumbuhkan empati dan solidaritas adalah kunci untuk membangun kerukunan dan kedamaian. Ketika kita mampu berempati dengan orang lain yang berbeda dengan kita, kita akan lebih mudah memahami kesulitan mereka dan tergerak untuk membantu. Solidaritas akan memperkuat ikatan persaudaraan kita sebagai bangsa, sehingga kita mampu menghadapi berbagai tantangan bersama-sama.

Perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati adalah panggilan bagi setiap kita untuk menjadi pembawa kasih di tengah masyarakat. Kasih yang tidak terbatas oleh perbedaan, kasih yang aktif dan konkret, serta kasih yang tumbuh dari empati dan solidaritas. Di Indonesia, dengan segala keragamannya, semangat "menjadi Samaria" ini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan penuh kasih.

Mari kita renungkan kembali pertanyaan Yesus kepada ahli Taurat di akhir perumpamaan: "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawaban ahli Taurat adalah, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Jawaban ini sederhana namun mendalam. Sesama kita adalah siapa saja yang membutuhkan pertolongan kita, dan cara kita menunjukkan bahwa kita adalah sesama adalah melalui tindakan kasih dan belas kasihan.

Akhirnya, sebagai bangsa Indonesia, mari kita jadikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai landasan kita dalam berinteraksi dan bermasyarakat. Semangat gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial adalah cerminan dari nilai-nilai kasih tanpa batas yang diajarkan oleh Yesus melalui perumpamaan Orang Samaria. Dengan mengamalkan nilai-nilai ini, kita dapat menjadi "Samaria" bagi sesama kita di bumi pertiwa ini, membangun Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih penuh kasih.

Alkitab mengatakan:” Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:39).

Oleh: PIRENO ADI WARDOYO S.Th

(Penyuluh Agama Kristen Ahli Pertama pada Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kota Malang)

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Perkantoran.