Ditengah-tengah perhelatan pertemuan jamaah NU se-dunia di Hotel Tayseer Tower, saya didekati seorang kyai yang saat ini menjadi Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia yang menyertai jamaah, atau lebih akrab disebut pembimbing kloter. Beliau menanyakan masalah berkaitan dengan ibadah yang dilakukan jamaahnya. Tentu saja hal ini biasa terjadi, kemana-mana kami tim bimbingan ibadah dan para konsultan ibadah akan menjadi rujukan pertanyaan para pembimbing kloter. Yang mungkin sebenarnya mereka bisa menjawab sendiri dengan keilmuan mereka.
Perilaku seperti ini sangat biasa bagi para kyai atau ulama. Untuk mengurangi resiko adzab/siksa asal fatwa, mereka menanyakan masalah yang mereka sesungguhnya sudah tahu jawabannya kepada kyai lain untuk memastikan keputusannya sudah benar. Rasulullah menegaskan: "wakullu man afta bi futsya ghaira tsabat, fainnama itsmuhu ala man aftahu." Barangsiapa yang berfatwa dengan fatwa yang tidak pasti (memungkinkan berbeda dengan ketentuan syariat) maka dosa akan dibebankan pada orang yang berfatwa.
Hadits ini memang membuat kuatir bagi mereka yang sering dimintai nasehat atau fatwa. Disamping hadits diatas, ada juga pernyataan Abdullah Ibn Abbas dan Abdullah Ibn Mas'ud; "man afta an kulli ma yus'al fahuwa majnun" barangsiapa yang berfatwa atas semua yang dipertanyakan kepadanya, maka sesungguhnya orang itu gila. Namun solusi cepat dalam proses perhajian ini dibutuhkan karena berkaitan dengan keabsahan ibadah dari para jamaah. Mereka yang bekerja di sektor khusus Masjidil Haram contohnya, sesungguhnya tugas utamanya menghindarkan jamaah tersesat, tetapi pada kondisi jamaah belum selesai thawaf, belum selesai sa'i, mereka harus berfikir cepat apakah jamaah ini diantar pulang atau bagaimana, agar ibadah hajinya sah.
Beberapa waktu yang lalu, Kang Halim, seorang kawan saat di pesantren asal sidoarjo, bertanya masalah wanita haid disaat-saat jelang kepindahan dari Makkah ke Madinah atau ke tanah air. Bagaimana Thawaf Ifadlah mereka? Saya berikan kepada Kang Halim beberapa pernyataan ulama dari salah satu kitab yang sering digunakan rujukan para ulama dalam masalah haji. Kang Halim bertanya: "menurutmu mana yang lebih unggul dan bisa digunakan pegangan dari dalil-dalil itu." Ini pertanyaan jebakan yang biasa disampaikan para kyai untuk bergantung pada jawaban seseorang. Saya pun menjawab: "Kang kita sama-sama pernah di pesantren, jenengan kan kyai silahkan cari sendiri mana yang kuat dan jangan bebankan perhitungan amal atas fatwa pada orang lain." Kang Halim paham dan tertawa.
Seorang jamaah lansia bertanya kepada ketua kloter; bagaimana hajinya karena saat umrah wajib sebelum proses hajian, ia thawaf dalam keadaan tidak punya wudlu. Kalau berwudlu dulu, ia takut ketinggalan dan tersesat. Bagi mereka yang tidak mempunyai keberanian memang patut hawatir di masjidil haram, salah belok sedikit sudah bisa membuatnya blank. Ketua kloter yang kebetulan sesama kepala kantor ini akhirnya bertanya kepada saya.
Meski cukup pelik, karena laporan bahwa ia tidak sempurna thawaf dan sa'inya, tetapi apa yang dilakukan jamaah lansia itu lumayan baik, karena ia bertanya di tanah haram sebelum balik ke tanah air. Coba bayangkan berulang-ulang disampaikan tidak boleh berkumpul dengan isteri sebelum tahallul tsani atau yang kedua diselesaikan. Tiba-tiba sesampai di Indonesia dia cerita mencuri-curi waktu diantara jumrah aqabah dan thawaf ifadloh untuk bisa berkumpul dengan isterinya.
Jamaah haji kloter awal sudah mulai dipulangkan ke Indonesia mulai jumat, 21 Juni 2024. Dilimit akhir waktu inilah tugas pembimbing ibadah sangat krusial karena harus memastikan apakah jamaah sudah benar-benar menyempurnakan ibadahnya ataukah ada yang tertinggal tetapi sungkan atau malu diungkapkan.
Para pembimbing ibadah harus mampu mengolah kata agar jamaah mau mengungkapkan kondisinya. 2008 saat menjadi jamaah haji biasa, saya menemui nenek-nenek yang menolak melakukan ifadloh. Setiap ditanya dia mengatakan bahwa dia sudah selesai ibadah hajinya. Setelah saya rayu-rayu ia baru berkenan untuk ifadloh dengan didorong kursi roda.
Bagi orang tua yang sudah sangat sepuh mungkin prosesi haji agak lumayan rumit, dipindah-pindah, habis thowaf, harus thowaf lagi tidak sesimpel shalat atau ibadah mahdloh lainnya.
Di waktu-waktu jelang pulang atau digeser ke Madinah ini, jamaah haji dikalangan ibu-ibu juga harus mencermati apakah masih haid dan belum ifadloh? Bolehkah thawaf ifadloh dalam keadaan haid? Bagaimana cara menjalankan ifadloh saat haid dan tidak mempengaruhi keabsahan hajinya?
Inilah saatnya para pembimbing ibadah untuk bergerilya mencari jamaah yang belum usai ifadlah, rangkaian ibadah haji yang harus dilakukan dan bila ditunda akan semakin padat di Masjidil Haram karena akan berbarengan mereka yang akan melakukan thawaf wada' berpamitan pada Makkatul Mukarramah. Tentu menjadi gerilya yang tidak mudah. Apapun moga haji mabrur didapatkan semua jamaah. Wallahu a'lam.