LOWOKWARU, 22 Juli 2025 – Di tengah hiruk pikuk tuntutan kurikulum dan dinamika pendidikan modern, Kelompok Kerja Guru Pendidikan Agama Islam (KKG PAI) Lowokwaru menancapkan tonggak penting. Bertempat di Aula SDN Tunjungsekar 1 yang sejuk, puluhan guru PAI berkumpul dalam Workshop Deep Learning, sebuah forum yang tak sekadar mengasah metodologi, namun juga menguatkan ruh dan panggilan jiwa para pendidik. Suasana khidmat namun penuh semangat menyelimuti ruangan, kala Pengawas PAI Kecamatan Lowowaru, Muniron, hadir menyampaikan wejangan mendalam yang menggugah hati dan pikiran.
Pesannya bukan sekadar sambutan seremonial. Ia adalah sebuah refleksi mendalam tentang peran strategis guru PAI dalam membentuk generasi berkarakter kuat, berakhlak mulia, dan religius di tengah arus globalisasi. Dengan lugas, beliau menegaskan bahwa kompetensi seorang guru PAI jauh melampaui batasan ruang kelas; ia harus menyentuh berbagai aspek kehidupan, menjadi teladan yang berjalan, dan mata air nilai-nilai keislaman.
Enam Pilar Kompetensi: Pondasi Guru PAI Unggul
Muniron merinci enam kompetensi utama yang wajib dimiliki setiap guru PAI agar mampu mencetak siswa yang utuh, tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga matang secara spiritual dan sosial.
Pertama, Kompetensi Pedagogik. Ini adalah tentang seni mengajar, memahami bagaimana setiap anak belajar, dan menyesuaikan metode pembelajaran agar sesuai dengan karakteristik unik peserta didik. Guru PAI diharapkan mampu meracik formula belajar yang tidak hanya informatif, tetapi juga inspiratif.
Kedua, Kompetensi Profesional. Lebih dari sekadar teori, guru PAI harus cakap dalam membaca dan menulis Al-Qur'an dengan baik dan benar, serta mampu mengajarkannya dengan metode yang tepat. Ini adalah jantung dari pendidikan agama, memastikan kemurnian ajaran tersampaikan.
Ketiga, Kompetensi Kepribadian. Inilah esensi dari uswah hasanah—teladan yang baik. Seorang guru PAI adalah cerminan nilai-nilai yang diajarkan. Dari tutur kata yang santun, penampilan yang rapi, hingga akhlak yang terpuji, semuanya adalah bagian dari kurikulum nyata yang diserap siswa setiap hari.
Keempat, Kompetensi Sosial. Bapak Muniron mengingatkan bahwa hidup adalah proses saling membutuhkan. Guru PAI harus mampu menempatkan diri di tengah masyarakat, berinteraksi, dan memberikan kontribusi positif, menjadi jembatan antara sekolah dan komunitas.
Kelima, Kompetensi Spiritual. Ini adalah fondasi dari segalanya. Menjaga ibadah secara istiqomah, terutama shalat berjamaah, menjadi penekanan utama. Dikutip dari hadits Nabi, "Tidak akan dijadikan fakir hamba yang rajin beribadah,” sebuah pengingat akan keberkahan spiritual. Tak hanya itu, guru-guru juga diajak membiasakan tirakat seperti puasa sunnah, tahajud, dhuha, dan witir—praktik-praktik yang menguatkan koneksi dengan Sang Pencipta.
Terakhir, Kompetensi Leadership. Guru PAI bukan hanya pengajar, tetapi juga penggerak. Mereka harus mampu menciptakan ekosistem Islami di lingkungan sekolah, melibatkan seluruh guru lintas mata pelajaran dalam proses pembinaan karakter, sehingga nilai-nilai keislaman meresap ke dalam setiap sendi kehidupan sekolah.
Tafakur: Latihan Hati dan Akal
Selain kompetensi, Muniron juga menekankan pentingnya latihan tafakur dalam proses pembelajaran PAI. Tafakur, sebuah praktik merenung yang melibatkan hati dan akal, dapat dilakukan melalui lima cara: memikirkan ayat-ayat Allah baik yang tertulis (Al-Qur'an) maupun yang tercipta (alam semesta); mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang sering terlupakan; merenungkan janji-janji Allah berupa pahala, surga, dan keberkahan; mengingat ancaman-ancaman Allah agar tetap waspada; dan menyadari kekurangan diri dalam ibadah untuk terus memperbaiki diri. Tafakur adalah kunci untuk menumbuhkan kesadaran spiritual dan kepekaan batin.
Kurikulum Cinta: Pilar Pendidikan Berbasis Hati
Di penghujung pesannya, Muniron menyoroti sebuah konsep revolusioner: Kurikulum Cinta. Ia adalah fondasi dari pendidikan berbasis hati, sebuah pendekatan yang mengedepankan empat dimensi cinta: cinta kepada Allah dan Rasul sebagai landasan utama; cinta kepada sesama, mencakup mencintai diri sendiri, siswa, dan seluruh umat manusia; cinta lingkungan, menumbuhkan kesadaran ekologis dan tanggung jawab menjaga bumi; serta cinta tanah air dan bangsa, menanamkan nasionalisme yang kokoh dan semangat berkontribusi positif bagi negeri.
Workshop Deep Learning ini, tidak hanya memberikan wawasan metodologis baru, tetapi juga memperkuat ruh dakwah pendidikan Islam. Harapan besar tersemat di pundak para guru PAI: menjadi pilar penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga bersinar secara spiritual, berakhlak mulia, dan berdedikasi tinggi bagi agama, bangsa, dan negara.
"Guru PAI harus menjadi mata air nilai-nilai keislaman di sekolahnya masing-masing. Mari kita kuatkan akidah, ibadah, dan akhlak anak-anak melalui teladan dan cinta,” pungkasnya, meninggalkan resonansi kuat di hati setiap pendidik yang hadir. (Humas)