Perkuat Toleransi, Beda itu tidak harus konflik

Malang – Dalam rangka memperkuat toleransi dan mencegah potensi konflik keagamaan, Kementerian Agama Kota Malang menggelar Dialog Kerukunan Intern Beragama dengan tema “Wujudkan Kota Malang Harmoni, Deteksi Dini Konflik Keagamaan”. Acara ini diselenggarakan pada Selasa, 25 Februari 2025, di Aula Utama Kemenag Kota Malang, Jalan R. Panji Suroso No. 2.


Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai organisasi keagamaan, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Selain itu, turut hadir seluruh Kepala KUA Kecamatan dan Penyuluh Agama Islam yang berperan dalam memperkuat sinergi serta membangun toleransi di tengah masyarakat.


Pentingnya Dialog dalam Menjaga Kerukunan
Dalam pembukaan acara, Kasi Bimas Islam Kemenag Kota Malang, Ahmad Hadiri, M.Ag, menyoroti pentingnya forum ini sebagai upaya deteksi dini potensi konflik keagamaan. Ia mengungkapkan bahwa laporan terkait kerukunan intern beragama masih cukup tinggi, termasuk pengaduan seputar masjid yang mencerminkan perlunya solusi konkret dalam menangani perbedaan persepsi keagamaan.
Sementara itu, Kepala Kemenag Kota Malang, Achmad Shampton, S.HI, M.Ag, dalam sambutannya menyampaikan bahwa dialog menjadi kunci dalam menemukan titik temu perbedaan agar tidak menimbulkan gesekan antarumat beragama. “Dengan adanya komunikasi yang baik, kita bisa belajar untuk saling memahami dan berdamai tanpa harus menyakiti orang lain,” ujarnya.


Diskusi: Penyebab dan Solusi Konflik Keagamaan
Dalam sesi diskusi pertama, Mohamad Anas dari Lakpesdam NU Kota Malang membahas berbagai faktor penyebab konflik keagamaan, termasuk penyampaian ajaran agama yang terlalu dogmatis, klaim kebenaran mutlak (truth claim), serta kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai moderasi.
Ia juga mengutip teori toleransi Rainer Forst, yang menekankan bahwa toleransi bukan hanya sekadar menerima keberadaan pihak lain, tetapi juga menciptakan ruang untuk berdialog secara setara. Selain itu, prinsip Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengedepankan tenggang rasa, keadilan, dan kerja sama lintas agama menjadi pijakan penting dalam mencegah radikalisme dan ekstremisme.


Pada sesi kedua, Prof. Dr. Abdul Haris, MA menekankan bahwa perbedaan merupakan hal yang alami dan tidak seharusnya menjadi sumber konflik. “Sejak zaman Nabi Muhammad, perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam sudah ada. Namun, para sahabat tetap menghormati perbedaan tersebut dan tidak saling menyalahkan,” jelasnya.
Menurutnya, perbedaan dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya mindset inklusif, peningkatan pemahaman agama, sikap tawadhu’ (rendah hati), serta toleransi yang proporsional dalam membangun keharmonisan masyarakat.


Harapan untuk Masa Depan
Melalui dialog ini, Kemenag Kota Malang berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkaya keberagaman dalam bingkai persatuan.
“Keberagaman di Indonesia adalah kekayaan yang harus kita jaga bersama. Dengan saling menghormati dan berdialog, kita bisa menciptakan Kota Malang yang harmonis, damai, dan penuh toleransi,” pungkas Achmad Shampton.
Kegiatan ini menjadi langkah konkret dalam membangun pemahaman yang lebih baik antarumat beragama serta memperkuat ikatan sosial demi mewujudkan kedamaian dan harmoni di Kota Malang.(HUMAS)

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.