Jelang puncak haji, makanan sehari-hari petugas haji adalah kordinasi, visitasi dan edukasi ke sesama petugas dan jamaah haji. Berbagai strategi dirumuskan untuk memberikan kenyamanan kepada jamaah.
Tambahan kuota yang berangkat haji, bukan tanpa masalah, Masjidil Haram menjadi terasa sempit dan aksesnya terbatas. Jamaah tidak lagi bisa kemana-mana bila masuk satu pintu akan keluar dipintu yang ditentukan, tidak bisa seenaknya berputar mengelilingi masjid seperti dulu lagi. Bayangkan untuk subuh saja jam 3 malam masjid sudah ditutup. Mereka yang datang terlambat harus shalat di luar. Jumlah jamaah yang sangat banyak, berbagai akses dibatasi dan dijaga aparat membuat banyak jamaah kebingungan mengambil jalan, tingkat jamaah tersesat juga tinggi.
Pada Rabu, 5 Juni kami para pembimbing ibadah bertemu untuk membahas persiapan Arafah, Muzdalifah dan Mina atau sering disebut Armuzna yang menjadi puncak haji, dimana Muzdalifah menjadi tambah sempit karena ada pembangunan toilet.
Tahun 2024, sebagaimana dijelaskan Subhan Khalid, Direktur Layanan Haji Luar Negeri, Mina Jadid tidak lagi ditempati Jemaah Haji Indonesia. Sehingga, 213.320 jemaah dan 2.747 petugas haji akan menempati seluruh area Muzdalifah. Padahal, tahun ini juga ada pembangunan toilet yang mengambil tempat (space) di Muzdalifah seluas 20.000 m2. Sehingga, ruang yang tersedia untuk setiap jemaah jika semuanya ditempatkan di Muzdalifah, 82.350 m2 - 20.000 m2 = 62.350 m2/213.320 = 0,29m2.
Untuk ini pemerintah harus berfikir keras untuk memberi layanan terbaik bagi jamaah. Konsep murur yang sekarang diupayakan untuk disosialisasikan terus kepada jamaah agar yang dipilih berkenan untuk tidak turun Muzdalifah karena tidak mempengaruhi keabsahan haji.
Konsep murur ini bukan tanpa risiko bagi para petugas haji. Karena konsep layanan haji, petugas harus ada sebelum jamaah datang. Untuk itu bagi petugas haji hanya boleh berwukuf di Arafah satu setengah jam saja, setengah dua sudah harus diangkut ke Mina untuk melayani jamaah. Apakah sah wukufnya para petugas? Tentu saja sah, karena dalam kitab Idloh Fi manasik al-Hajj yang disusun Imam Nawawi halaman 94 menyebutkan: “qad hashola bi arafah fi lahdzatin lathifatin min hadzal waqti shahha wuqufuhu wa adrokalhaj” wukuf sudah dianggap cukup bila seseorang datang ke Arafah sebentar di waktu setelah Dzuhur dan memperoleh predikat haji.
Setengah dua waktu setempat para petugas akan diangkut ke Mina untuk mempersiapkan di Mina dan yang bertugas di Muzdalifah akan diangkut ke Muzdalifah untuk mempersiapkan disana, demi pelayanan jamaah haji yang prima. Saat hal ini diberitahukan dalam rapat, melihat batas wukuf yang pendek bagi para petugas untuk wukuf ini, membuat mereka bercanda; “ibarat malaikat masih sibuk mencatati amal orang-orang yang wukuf kita para petugas sudah harus pindah.” Tentu ini cuma kelakar.
Allah begitu belas asih, tidak semua orang bisa meraih kesempurnaan tanpa cacat dalam ibadah apapun. Tentu ada kekurangan disana sini. Terlebih para petugas melayani para tamu Allah, selalu dibahasakan ibadah hajinya ibadah haji minimalis. Tetapi para petugas ini bahasa kasarnya ibarat abdi ndalemnya Allah. Mungkin mereka menyuguhkan jamuan untuk tamu-tamu Allah tanpa banyak ikut menikmati jamuan itu, tapi para
abdi ndalem tentu mempunyai kedekatan tersendiri dengan tuan rumah yaitu Allah. “Leladi” yang dilakukan para petugas haji adalah bentuk cara lain mendapatkan ridla Allah. Dan tidak harus dengan basa basi ala tamu. Kita mungkin mencicipi jamuan sisa para tamu, tetapi Allah in sha Allah menyediakan rengkuhan lain untuk para pelayannya.
Ahmad Badrus Shomad, yang sehari harinya menjadi pengacara dan saat ini menjadi petugas PPIH transportasi di terminal Shib Amir dan harus bekerja siang malam dibawah terik matahari menyatakan di pengadilan setidaknya yang saya bela satu atau beberapa orang saja. Tapi ditanah suci ini, meski berpanas panasan saya bisa membantu semua tamu-tamu Allah tanpa terkecuali. Semoga haji mabrur menghampiri. Wallahu a’lam. (*)
Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 10 juni 2024