Manajemen Risiko: Bukan Sekadar Tugas, Melainkan DNA Organisasi

Ciputat, Jakarta – Setelah mengupas urgensi manajemen risiko dalam pengelolaan keuangan negara, Dr. Amik Tri Istiami dalam sesi pelatihan kepemimpinan administrator di Pusbangkom Kementerian Agama, melanjutkan dengan strategi krusial untuk menumbuhkan budaya peduli risiko di seluruh lini organisasi. Budaya risiko, ditegaskan Dr. Amik, bukan sekadar retorika, melainkan pola perilaku yang melekat pada setiap personel, di mana pertimbangan risiko menjadi kompas dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas secara berkelanjutan.

"Membangun budaya peduli risiko adalah investasi jangka panjang. Ini bukan proyek sesaat, melainkan transformasi mental dan perilaku seluruh elemen organisasi," tandas Dr. Amik. Demikian benang merah yang mengemuka dalam materi pelatihan kepemimpinan administrator yang disampaikan oleh Dr. Amik Tri Istiami di Pusat Pengembangan Kompetensi (Pusbangkom) Kementerian Agama. (21/4)

Strategi pertama yang ditekankan adalah komitmen pimpinan untuk menciptakan tone at the top yang sama. Ibarat orkestra, pimpinan harus menjadi konduktor yang memastikan seluruh instrumen berirama selaras dalam menyikapi risiko. Keteladanan pimpinan dalam mengedepankan pertimbangan risiko dalam setiap kebijakan dan tindakan akan menjadi contoh kuat bagi seluruh jajaran.

"Ketika pimpinan menunjukkan bahwa manajemen risiko bukan sekadar jargon, melainkan bagian integral dari pengambilan keputusan, maka budaya ini akan lebih mudah meresap ke seluruh organisasi," jelas Dr. Amik.

Langkah selanjutnya adalah edukasi yang komprehensif kepada seluruh stakeholder mengenai esensi dan urgensi manajemen risiko. Pemahaman yang sama tentang potensi ancaman dan manfaat pengelolaan risiko akan menumbuhkan kesadaran kolektif. Pelatihan, sosialisasi, dan internalisasi nilai-nilai peduli risiko harus dilakukan secara berkelanjutan.

"Knowledge sharing" atau berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait risiko juga menjadi strategi penting. Pembelajaran dari keberhasilan maupun kegagalan dalam mengelola risiko di berbagai unit kerja akan memperkaya wawasan dan meningkatkan kemampuan organisasi secara keseluruhan. Forum diskusi, workshop, dan pertukaran informasi secara reguler perlu diwadahi.

Dr. Amik juga menyoroti pentingnya kedinambungan dan konsistensi dalam implementasi manajemen risiko. Budaya tidak tumbuh dalam semalam. Penerapan prinsip-prinsip manajemen risiko harus dilakukan secara terus-menerus dan konsisten dalam setiap proses bisnis organisasi.

"Jangan sampai manajemen risiko hanya menjadi tren sesaat atau formalitas belaka. Kedinambungan dan konsistensi adalah kunci untuk menjadikannya bagian tak terpisahkan dari DNA organisasi," tegasnya.

Terakhir, ketepatan metode pengembangan manajemen risiko juga menjadi perhatian. Metode yang dipilih harus sesuai dengan karakteristik organisasi, kompleksitas risiko yang dihadapi, dan sumber daya yang tersedia. Pendekatan yang terlalu rumit atau tidak relevan justru bisa kontraproduktif.

Dalam konteks tiga lini pertahanan (three lines of defense), Dr. Amik menjelaskan bahwa lapis pertama, yaitu setiap unit kerja dan pegawai, memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan lingkungan pengendalian yang kondusif, menerapkan kebijakan manajemen risiko yang berlaku, dan menunjukkan pengendalian internal yang efektif dalam setiap aktivitasnya.

"Setiap individu adalah garda terdepan dalam pengelolaan risiko. Kesadaran dan kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip pengendalian internal adalah benteng pertama organisasi," ujarnya.

Seluruh upaya membangun budaya peduli risiko ini, menurut Dr. Amik, harus selaras dengan asas penyelenggaraan negara. Asas kepastian hukum, ketertiban, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas menjadi landasan etis dan operasional dalam mengimplementasikan manajemen risiko.

"Manajemen risiko yang efektif akan memperkuat akuntabilitas organisasi. Dengan pengelolaan risiko yang baik, kita dapat lebih bertanggung jawab dalam mencapai tujuan dan melayani masyarakat," pungkas Dr. Amik, menekankan bahwa membangun budaya peduli risiko adalah investasi strategis untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan berorientasi pada pelayanan publik yang optimal. "Materi ini adalah bekal penting bagi para pemimpin administrator dalam mengawal keuangan negara secara lebih profesional dan bertanggung jawab." komentar Kepala Kantor Kemenag Kota Malang yang mengikuti pelatihan.

Muhammad Nur Hidayah

Penulis yang bernama Muhammad Nur Hidayah ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pranata Humas dan Agen Perubahan Kemenag Kt Malang.