Ketatnya Aturan Mempersempit Kriteria Istithoah

Catatan Haji 2024

Achmad Shampton, S. HI, M.Ag

Kepala Kemenag Kota Malang

Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 6 juni 2024

Mengapa haji itu begitu menggoda? Hingga banyak orang berani membayar mahal untuk menjalankannya? Bahkan berani selintutan mencari jalan tikus agar bisa berangkat haji atau umrah? Dalam riwayat Baihaqi Nabi bersabda: “Jamaah haji maupun umrah adalah delegasi Allah, Allah memberi apa yang diminta para jamaah haji dan umrah itu, dan mengabulkan permintaan mereka dan mengganti apa yang mereka keluarkan untuk haji dan umrah itu dengan dirham yang beribu ribu.”

Saya bersama rombongan petugas sempat tertahan di Bi’r Ali agak lama, karena harus diperiksa dan diduga jamaah illegal karena sebelumnya ada jamaah dari bagian timur Indonesia yang ditahan karena menggunakan visa ziarah. Sepertinya mereka haji plus plus karena bus yang mereka tumpangi mewah dengan formasi kursi dua satu. Tapi kenapa visa yang digunakan bukan visa umrah resmi? Benarkah mereka terlecut karena janji Allah itu? Atau yang lainnya? Wallahu a’lam.

Rasulullah SAW juga menyatakan dari umrah satu ke umrah lain adalah pelebur dosa diantara kedua umrah itu, dan haji mabrur tidak ada pahala yang pantas kecuali surga.

Dari sudut pandang ridla Allah yang dibuktikan dengan surga, tentu pantas bila kita berupaya sekuat tenaga meraih ridla Allah itu. Meski berisiko ditangkap polisi dan dipulangkan ke tanah air karena menggunakan visa selain haji yang seringkali praktiknya lebih mahal dari yang reguler Dari sudut pandang saya yang bodoh ini, untuk memakmurkan masjid saja kita menggerakkan perekonomian dengan makan gratis, istirahat gratis, ATM beras dan lain-lain yang bersifat duniawi dan sederhana. Benarkah surga sedang diburu saat ini dan yang instan adalah pergi haji?

Haji sendiri tidak semuanya mabrur, ada juga yang tidak sukses. Saat Rasulullah ditanya haji mabrur itu apa? Rasul menjawab; memberi makan (sesama) dan berkata yang baik. Hadits riwayat Ahmad. Lho? Kenapa bukan mereka yang memperbanyak umrah, thawaf, menyelesaikan proses haji dengan baik atau shalat di masjidil haram? Bukankah karena itu kita ke Makkah? Dalam riwayat lain disebutkan bahwa haji mabrur adalah proses haji yang selamat dari maksiat baik besar maupun kecil sejak ihram hingga usai prosesi ibadah. Dua hadits ini menyimpulkan haji adalah penempa kepedulian pada sesama. Dan bila kita kaji bersama hampir semua ibadah yang tergabung dalam rukun Islam titik akhirnya adalah membangun kepedulian pada sesama.Ini lah yang harus kita sadari, pantaskah kita mengejar haji dan menjalankan ibadahnya saja tanpa mengambil inti mabrur yang “ith’amuttoam?” Memberi makan sesama? Benarkah mereka yang berangkat haji dengan Rp 400 jutaan telah memastikan tetangganya tidak kelaparan? Atau negara kita sudah sangat makmur hingga Rp 400 juta seperti kacang goreng. Tahun ini pemeriksaan jamaah oleh Pemerintah Arab Saudi sangat ketat. Banyak jamaah haji yang kena razia yang harus dipulangkan. Mereka gagal pergi haji dan kehilangan uang banyak. Semangat menunaikan ibadah haji yang luar biasa, semoga mereka yang tidak bisa menjalankan ibadah haji karena terkena razia tetap mendapat pahala karena niatul mukmin khairun min amalihi. Ayat “lillahi alannasi hijjul bait man istatho’a ilaihi sabiila” sesungguhnya sudah cukup jelas bagi kita, bahwa istitoah itu menyangkut berbagai hal termasuk izin masuk makkah dan kesehatan. Jadi sebenarnya mereka yang tidak mendapat porsi resmi visa haji bisa dikatakan tidak istitoah. Belum dianggap mampu. Bagaimana dengan umur yang sudah tua dan baru bisa daftar hari ini? Daftar saja, toh umur Allah yang menentukan. Kalaupun hingga meninggal dunia antrian belum juga dapat giliran berangkat, porsi hajinya bisa dialihkan kepada anak turun dan dia sudah mendapat pahala niat haji dibuktikan dengan mendapatkan porsi secara legal.Secara fikih istithoah haji berkait erat dengan kekuatan badan, mampu menempuh perjalanan, mampu menjalani manasik, jalan yang aman. Melihat kriteria ini, mereka yang masuk Saudi Arabia dengan visa selain visa haji bisa jadi tidak masuk dalam lingkup istithoah karena perjalanannya pasti terhambat dan membuat mereka tidak aman karena harus di deportasi dan namanya masuk daftar hitam bagi pemerintah Saudi. Ketatnya aturan akan otomatis mempersempit kriteria istitoah dalam berhaji.Tahun ini peraturan memang sangat ketat, hari pertama saya bertugas, saya mendapat laporan dari jamaah haji Indonesia asal Malang tentang sulitnya prosedur bila keluar melewati check point. Pemeriksaan yang lumayan lama karena satu persatu dilihat visa hajinya dan mereka tidak mencukupkan id card ataupun gelang haji. Dulu yang ke Hudaibiyah, Ji’ranah atau Thaif bisa melenggang, sekarang harus mempersiapkan diri dengan berbagai macam pemeriksaan saat akan masuk kembali ke Makkah. Konsentrasi miqat umrah sunnah lebih banyak tertumpu di Tan’im yang membuat Tan’im terasa lebih padat dari musim haji lainnya. Melihat kondisi ini pemerintah Indonesia mengeluarkan flyer-flyer agar jamaah tidak keluar Tanah Makkah. Bagaimana dengan waktu disela[1]sela umrah wajib dan haji? Jamaah sebenarnya bisa melakukan ibadah lain selain umrah. Seperti Thawaf sunnah contohnya. Dari sudut kajian fikih, mempersering Thawaf sunnah oleh sebagian ulama dianjurkan dan dianggap lebih baik daripada umrah berkali-kali. Tentu kita tidak mengabaikan ulama yang menyatakan memperbanyak umrah sunnah adalah lebih baik, tetapi dengan melihat kondisi ketatnya aturan di Saudi Arabia, maka memperbanyak thawaf sunnah atau ritual ibadah lain seperti memperbanyak membaca Quran atau shalawat atau bentuk ibadah lain yang tidak harus keluar Makkah lebih baik. Wallahu A’lam. (*)

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.