Ibadah tidak untuk meraih komentar baik makhluk

Ahad, 30 Juni 2024, saya menjalankan tugas untuk mengedukasi jamaah haji Indonesia berkaitan dengan ibadah-ibadah yang sebaiknya dilakukan di bumi Rasulullah. Utamanya menjelaskan ibadah arbain yang memang tidak lagi bisa sempurna dilakukan dengan berjamaah makmum kepada imam masjid Nabawi karena keterbatasan hotel yang bisa disewa dan waktu tinggal.

Pada sesi tanya jawab, salah seorang ketua rombongan melayangkan protes dan mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak memberi kesempatan jamaah haji untuk menyempurnakan arbain. Rata-rata jamaah hanya bisa menjalankan jamaah di masjid Nabawi 36-38 kali jamaah, “arbain adalah ibadah yang harus dilakukan, apa kata orang kalau kita haji tetapi tidak menjalankan arbain.” Kata salah seorang karom ini.

Ada dua kata yang penting disoroti dari kalimat yang disampaikan ini, yang pertama “ibadah yang harus dilakukan” dan yang kedua “apa kata orang”. Kata pertama “ibadah yang harus dilakukan” adalah ibadah wajib. Menarasikan ibadah sunnah sebagai amalan yang wajib dilakukan adalah kesalahan fatal. Kenapa bisa disebut fatal? Dalam kitab Sulamuttaufiq bab riddah dinyatakan bahwa mewajibkan sesuatu yang tidak wajib itu termasuk “yathruqu abwabal kufri”, mengetuk pintu kekufuran. Mewajibkan diri sendiri untuk melakukan kesunnahan sebagai upaya istiqamah dapat dibenarkan. Tetapi bila kalimat “harus” itu diartikan mereka yang meninggalkan berdosa atau tidak sempurna ibadahnya, maka ini adalah kesalahan.

Suatu hari ada tiga kelompok orang datang ke isteri-isteri Rasulullah. Mereka bertanya tentang bagaimana ibadah Rasulullah. Saat diberitahu ibadah Rasul, mereka merasa ibadahnya tidak ada apa-apanya dan dia menganggap ibadahnya terlalu sedikit. “wah Rasulullah saja yang sudah pasti diampuni ibadahnya masih seperti itu, bagaimana dengan kita?” komentar mereka yang mendengar jawaban isteri-isteri Rasulullah. “kalau begitu saya akan shalat malam terus selamanya” kata salah seorang sahabat. “saya akan puasa selamanya dan tidak akan berbuka” kata sahabat yang lain. “saya tidak akan menikah selamanya.” Sebut sahabat yang lainnya lagi. Saat Rasulullah mendengar ini, Rasulullah tidak malah memuji apa yang ingin dilakukan para sahabatnya. Rasulullah menegur: “apa yang kalian katakan?, Demi Allah saya adalah orang yang paling takut pada Allah, aku puasa dan aku berbuka, aku shalat malam dan tidur, aku juga menikah, barangsiapa nda suka dengan cara ibadahku maka bukan umatku yang sempurna.” Mengomentari hadits yang dinukil dalam kitab Bulughul Maram ini, ulama menyatakan bahwa berlebihan dalam beribadah juga bagian dari kesalahan. Seolah agama tidak lentur. Padahal Rasulullah menegaskan:

إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وقَارِبُوا، وأَبْشِرُوا، واسْتَعِينُوا بالغَدْوَةِ والرَّوْحَةِ وشيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ. الراوي : أبو هريرة | المحدث : البخاري

Agama itu mudah, tidak ada seorangpun yang bersusah payah beragama secara ketat, kecuali ia akan ditaklukkan oleh agama itu. Maka sampaikan agama itu dengan cara yang benar, dekati dan sampaikan agama dengan menyenangkan dan mintalah pertolongan dipagi hari dan malam hari dan sampaikan agama dengan lembut.

Mengharuskan sesuatu yang tidak harus bukan sesuatu yang pantas dilakukan untuk meraih ridla Allah. Memang ada penegasan dalam beribadah, ittaqullah haqqa tuqatih, bertaqwalah dengan ketaqwaan sesungguhnya. Tetapi jangan lupa Allah juga berpesan ittaqullah mas tato’tum, bertaqwalah dengan semampumu. Persis juga dengan pesan Allah yang lain la yukallifu nafsan illa wus-aha, Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Rasulullah juga menegaskan niatul mukmin khairum-min amalihi. “niat seorang muslim lebih baik dari amalnya itu sendiri. Karenanya keinginan menjalankan arbain, meski tidak terpenuhi dengan cara berjamaah secara langsung dengan imam masjid Nabawi dan hanya bisa dilengkapi dengan shalat qadla, maka niatan itu sudah mencukupi untuk meraih ridla Allah.

Mengenai kalimat kedua; apa kata orang kalau tidak melakukan arbain? Pertanyaan tegas yang harus disampaikan ketika ada kalimat tanya seperti ini, apakah kita beribadah untuk mendapat anggapan baik orang atau untuk mendapat anggapan baik dari Allah? Sadarkah kita, ada ibadah yang didasari oleh nafsu dan ada pula murni karena mengejar ridla Allah. Bila mengejar ridla Allah, tentu tidak akan berfikir “apa kata orang” tetapi “apakah Allah ridla dengan ibadah yang kita lakukan?” ibadah kita bukan untuk mendapatkan komentar baik orang kan? . Wallahu a’lam.

Achmad Shampton (Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Malang)

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.