Dinamika perbedaan dalam penentuan awal bulan Ramadan atau Syawal di Indonesia memang sudah terjadi sejak dulu. Sebenarnya tuntunan Nabi tentang kapan kita memulai dan mengakhiri puasa dapat kita temui dari riwayat Imam Muslim yang menyebutkan pernyataan Nabi Muhammad “Satu bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan (rukyat), dan jangan berbuka (berhari raya) sebelum melihatnya, dan jika tertutup awan maka perkirakanlah”.
Secara teks, dalil ini memberikan pemahaman bahwa rukyat (melihat hilal) merupakan metode penentuan awal bulan Kamariah. Hanya saja muncul pemahaman berbeda dari pengertian rukyat dalam hadits ini. Ada yang memahami arti rukyah itu harus dengan mata kepala atau ru’yah bil fi’li dan ada yang memahaminya rukyah itu bisa dilakukan dengan ilmu atau ru’yah bil ‘ilmi dalam artian ilmu hisab.
Melalui dua interpretasi ini melahirkan metode penetapan awal bulan yang berbeda, yaitu hisab dan rukyah. Pemerintah Indonesia bukan tanpa usaha menyatukan persepsi ini. Kementerian Agama menggunakan kriteria imkan rukyat/kemungkinan dilihat sebagai usaha penyatuan kalender hijriyah.
Namun Kriteria imkanurrukyah yang selama ini dipakai oleh Indonesia adalah tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur hilal 8 jam banyak menuai kritik dunia internasional. Dari data rukyat global, tidak ada kesaksian hilal yang bisa dipercaya secara astronomis yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat. Karena alasan ini pula ormas Persis cenderung menolak hasil rukyah dibawah 4 derajat.
Disisi lain Muhammadiyah menentukan bila hilal sudah diatas ufuk meski 0 derajat sekian menit, sudah dianggap pergantian bulan, tanpa harus ru'yat bil fi’li dan cukup dengan hisab atau sering disebut metode wujudul hilal.
Untuk menyatukan kalender hijriyah tentu harus melampaui jalan panjang. Namun dengan prinsip metode rukyat harus melalui upaya verifikasi, untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru. Dan sistem hisab harus menggunakan kriteria. Keberadaan kriteria tertentu yang menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab, dapat digunakan dalam prakiraan rukyat. Perbedaan pandang menerima hasil rukyat yang diitsbat oleh Pemerintah dapat diminimalisir.
Kriteria yang dirumuskan, tentu harus didasarkan pada dalil syar’i awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih. Kriteria harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama.
Pada 14-15 Agustus 2015 dilaksanakan Halaqoh “Penyatuan Metode Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah” yang diinisiasi oleh Majelis Ulama Indonesia dan Ormas-ormas Islam bersama Kementerian Agama RI di Jakarta.
Halaqoh tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan Pakar Astronomi di Jakarta pada 21 Agustus 2015 untuk penentuan kriteria awal bulan Hijriyah untuk disampaikan kepada MUI sebelum Munas MUI 2015.
Dari kajian Tim Pakar Astronomi yang dibentuk MUI, diusulkan kriteria tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.
Kriteria Tim Pakar Astronomi ini kemudian diadopsi oleh MABIMS. Karenanya sebagai tindaklanjut kesepakatan bersama negara-negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, dan Singapura) tentang implementasi Kriteria MABIMS Baru dalam imkanur rukyat penentuan awal bulan kamariah pada kalender hijriah yaitu tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4derajat di Indonesia pada tahun 2022 yang didasari dengan penandatanganan ad referendum oleh semua menteri agama negara anggota, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI menerbitkan surat pemberitahuan tentang kriteria imkan rukyat baru ini dengan surat bernomor B-79/DJ.III/HM.00/02/2022 pada tanggal 22 februari 2022.
Berdasar kriteria baru ini, pada saat maghrib 1 April 2021. Di Indonesia posisi bulan telah memenuhi kriteria Wujudul Hilal yang dipedomani Muhammadiyah sehingga berdasarkan kriteria tersebut awal Ramadhan 1443 adalah 2 April 2022.
Namun dengan kriteria baru MABIMS/RJ2017, posisi bulan di Indonesia tingginya kurang dari 2 derajat dan elongasinya kurang dari 6,4 derajat. Hilal tidak mungkin teramati. Jadi, dengan kriteria baru MABIMS/RJ2017, yang dikaitkan dengan potensi rukyatul hilal, awal Ramadhan kemungkinan besar jatuh pada Ahad 3 April 2022.
Menanggapi kemungkinan perbedaan penentuan awal bulan Ramadan ini, Muhtar Hazawawi Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Malang meminta masyarakat bijak dalam menyikapi dan berharap perbedaan ini tidak dijadikan media perpecahan tetapi harus menjadi khazanah dinamika beragama yang indah di Indonesia.