Pertanggungjawaban Moral dalam Islam: Membangun Akuntabilitas Sejati

Salah satu tugas dalam Pelatihan Kepemiminan Administator, adalah pengembangan potensi diri dengan cara mengikuti pelatihan atau membaca buku yang berkaitan dengan aksi perubahan. Salah satu buku menarik yang saya baca adalah buku Birokrasi, Akuntabilitas dan Kinerja.

Ada hal menarik yang membuat saya ingin menulis adalah pernyataan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, salah satu pemikir paling terkenal dari Jerman yang dikutip oleh Prof Amir Imbaruddin pada halaman 101. Hegel menyatakan: "negara sebagai "organisme moral," di mana seluruh aktivitasnya adalah aktivitas moral" disini kita menemukan kita menemukan resonansi yang kuat dengan nilai-nilai Islam. Hegel menekankan bahwa penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara hukum formal, tetapi juga secara moral. Ini sejalan dengan apa yang Dwivedi (1987) sebut sebagai akuntabilitas moral yang wajib dimiliki setiap individu penyelenggara negara.

Dalam Islam, konsep pertanggungjawaban memiliki bobot yang sangat fundamental, meresap ke dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim. Prinsip yang sangat penting untuk dipahami adalah:


حقوق الله تعالى مبنية على المسامحة وحقوق العباد مبنية على المشاحة
"Hak Allah dibangun di atas pemaafan, sementara hak sesama manusia dibangun di atas penyelesaian (mengenai kesalahan yang diperbuat dan dampaknya)."


Ini bukan sekadar diktum agama, melainkan landasan moral yang membentuk karakter individu dan masyarakat.

Dalam konteks Islam, pertanggungjawaban moral ini jauh lebih luas dan mendalam. Setiap tindakan, baik yang dilakukan secara pribadi maupun dalam kapasitas publik, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Hak Allah yang dibangun atas pemaafan mengacu pada dosa-dosa yang berkaitan langsung dengan pelanggaran perintah-Nya, di mana taubat dan istighfar dapat menghapusnya. Namun, hak sesama manusia yang dibangun atas penyelesaian memiliki implikasi yang berbeda. Ini berarti bahwa setiap kesalahan, penzaliman, atau pelanggaran hak orang lain tidak akan dimaafkan oleh Allah sampai hak tersebut dikembalikan atau dimaafkan oleh pihak yang dirugikan.

Kepuasan Masyarakat: Indikator Akuntabilitas yang Nyata
Pentingnya pertanggungjawaban ini juga tercermin dalam bagaimana seorang Muslim, khususnya pejabat publik, berinteraksi dengan masyarakat yang dilayaninya. Kepuasan masyarakat adalah salah satu indikator nyata dari akuntabilitas moral yang diemban. Jika seorang pejabat mengabaikan hak-hak atau kebutuhan masyarakat, berarti ia telah gagal dalam menjalankan amanah dan akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat.

Gronroos, sebagaimana dikutip oleh Edvardsson, dkk. (1994), mengemukakan enam kriteria yang biasanya digunakan oleh pelanggan atau masyarakat dalam menilai kualitas pelayanan yang diberikan. Dalam konteks penyelenggara negara adalah kita para ASN. Kriteria-kriteria ini sangat relevan dalam memahami dimensi akuntabilitas publik dalam Islam:

Professionalism and Skills: Masyarakat harus yakin bahwa organisasi, ASN, sistem, dan sumber daya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah mereka secara profesional. Dalam Islam, ini sewaktu dengan prinsip ihsan (melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya) dan amanah (menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan keahlian).

Attitudes and Behaviour: Pelanggan atau masyarakat merasa bahwa ASN menaruh perhatian dan berusaha membantu menyelesaikan masalah mereka dengan spontan dan senang hati. Ini mencerminkan nilai pelayanan yang tulus dan kasih sayang (rahmah) dalam berinteraksi dengan sesama, yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam.

Accessibility and Flexibility: Organisasi, lokasi, jam kerja,ASN, dan sistem harus dirancang agar mudah diakses dan fleksibel menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Islam mengajarkan kemudahan dan tidak mempersulit dalam urusan muamalah (interaksi sosial), sehingga pelayanan publik harus memudahkan, bukan mempersulit.

Reliability and Trustworthiness: Masyarakat yakin bahwa mereka dapat mempercayakan segala sesuatunya kepada peerintah beserta ASN dan sistemnya. Kepercayaan (tsiqah) dan kejujuran (shiddiq) adalah pilar utama dalam Islam, dan ini harus tercermin dalam setiap aspek pelayanan publik.

Recovery: Bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, birokrasi penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat. Ini menunjukkan tanggung jawab dan kemampuan adaptasi dalam mengatasi masalah, sesuai dengan prinsip mencari solusi terbaik (ishlah) dalam Islam.

Reputation and Credibility: Masyarakat meyakini bahwa pemeritah sebagai penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya. Reputasi baik adalah cerminan dari integritas dan komitmen, yang dalam Islam sangat dihargai sebagai bagian dari kemuliaan diri dan kehormatan.

Bagi seorang pejabat publik Muslim, prinsip ini menjadi landasan etika kerja yang tak tergoyahkan. Mereka tidak hanya terikat pada aturan hukum formal, tetapi juga pada standar moral dan etika yang jauh lebih tinggi, yaitu norma-norma ilahiah dan kepuasan masyarakat yang merupakan bagian integral dari hak-hak mereka. Setiap kebijakan, setiap keputusan, dan setiap tindakan harus didasarkan pada keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan umat, yang pada akhirnya akan menghasilkan pelayanan prima dan kepuasan publik.

Memburu Ridla Allah

Pertanggungjawaban dalam Islam bukan hanya tentang menghindari hukuman di dunia, melainkan juga tentang mencapai keridaan Allah dan menghindari konsekuensi di akhirat. Konsep ini menumbuhkan kesadaran diri yang mendalam bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa. Dengan demikian, akuntabilitas moral yang diusung Hegel dan Dwivedi, diperkuat dengan kriteria kepuasan masyarakat dari Gronroos, menemukan fondasi yang kuat dan komprehensif dalam ajaran Islam, mendorong para pemimpin untuk senantiasa bertindak dengan kesadaran penuh akan dampak moral, spiritual, dan sosial dari setiap perbuatan mereka. Berarti semestinya Beragama dengan baik seharusnya cukup untuk menjadikan seseorang akuntabel sebagai seorang ASN, bagaimana dengan kita?

Achmad Shampton

Penulis yang bernama Achmad Shampton ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama .