Mengelola Negara Beragama dalam Konstelasi Peradaban: Urgensi Manajemen Pemerintahan Berbasis Nilai

Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia (Worldometer, 2024) dan mayoritas penduduk Muslim terbesar (Pew Research Center, 2017), menghadirkan sebuah paradoks menarik. Meskipun bukan merupakan negara agama secara formal, nilai-nilai keagamaan memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Realitas ini menempatkan Kementerian Agama pada posisi sentral dan fundamental dalam tata kelola negara. Kejayaan bangsa Indonesia secara inheren terkait dengan peran agama yang dinamis dan memberikan kontribusi positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejalan dengan pemikiran Prof Kamarudin Amin, Sekjen Kemenag RI yang disampaikan pada pembinaan di IAIN Pamekasan 3 Mei 2025, peran Kementerian Agama melampaui sekadar urusan ritual dan simbol keagamaan. Agama seharusnya terinternalisasi dalam ranah peradaban dan sosial, menjadi energi konstruktif yang menawarkan solusi terhadap permasalahan bangsa dan meningkatkan kualitas kehidupan bernegara. Agama perlu diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga pelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, konsep ekoteologi menjadi relevan, di mana ajaran agama menjadi landasan etis dalam menjaga kelestarian alam sebagai amanah ilahi.

Al-Qur'an Surah Al-Ahzab (33): 72 menegaskan tanggung jawab manusia terhadap amanah bumi:

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَ الْاَرْضِ وَ الْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَ اَشْفَقْنَ مِنْهَا وَ حَمَلَهَا الْاِنْسَانُؕ-اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًا

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka khawatir (tidak akan mampu melaksanakannya), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh." (QS. Al-Ahzab [33]: 72)

Amanah pengelolaan bumi ini diemban oleh manusia, dan bagi aparatur negara di Kementerian Agama, amanah tersebut terwujud dalam tugas mulia mengelola urusan keagamaan yang berdampak signifikan terhadap kualitas bernegara.

Dalam konteks ini, pemahaman mengenai manajemen pemerintahan menjadi krusial. Manajemen pemerintahan bukan sekadar konsep teoretis, melainkan praktik operasional dalam menggerakkan organisasi pemerintahan untuk mencapai tujuan negara, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Terry (1958) mengidentifikasi empat fungsi dasar manajemen: Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating (penggerakan), dan Controlling (pengendalian). Keempat fungsi ini merupakan elemen fundamental bagi setiap organisasi yang berorientasi pada kemajuan, termasuk institusi pemerintahan.

Secara etimologis, "pemerintah" merujuk pada tindakan memerintah, badan yang mengurus, serta segala perbuatan atau cara dalam menjalankan wewenang dan kekuasaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2024). Ndraha (1997) mendefinisikan pemerintah sebagai badan yang memproses pemenuhan kebutuhan dasar manusia melalui pelayanan publik. Sementara itu, Sayre (dalam Shafritz et al., 2016) secara ringkas menyatakan bahwa pemerintah adalah organisasi negara yang menunjukkan dan menjalankan kekuasaannya.

Dalam perspektif yang lebih luas, pemerintahan mencakup keseluruhan aktivitas legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam mencapai tujuan negara. Dalam arti sempit, istilah ini merujuk secara spesifik pada fungsi eksekutif (Finer, 1970). Suradinata (2011) membedakan antara "pemerintah" sebagai lembaga dan "pemerintahan" sebagai aktivitasnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengklasifikasikan tingkatan pemerintahan menjadi Pemerintah Pusat (Presiden dan jajarannya), Pemerintah Daerah (Kepala Daerah), dan Pemerintahan Daerah (penyelenggaraan urusan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Manajemen pemerintahan hadir sebagai kerangka kerja dalam mengelola tata kelola pemerintahan untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia demi mencapai kesejahteraan rakyat dan tujuan negara (Siagian, 2014; Supriyanto & Suryadinata, 2006; Istianto, 2009). Esensi dari manajemen pemerintahan terletak pada proses penggerakan, yang dalam konteks administrasi publik seringkali dikaitkan dengan fungsi kepamongprajaan. Istianto (2009) lebih lanjut mendefinisikan manajemen pemerintahan sebagai implementasi kebijakan publik secara organisasional.

Sebagai instansi vertikal, Kementerian Agama memiliki peran strategis sebagai representasi Pemerintah Pusat dalam mengelola urusan keagamaan di seluruh wilayah Indonesia. Tugas ini memerlukan implementasi fungsi manajemen pemerintahan yang adaptif, responsif, dan inovatif, terutama di era modern yang ditandai dengan kecepatan dan transparansi informasi. Tuntutan publik akan pelayanan prima menjadikan adaptasi ini sebuah imperatif.

Implementasi fungsi manajemen pemerintahan di Kementerian Agama harus berorientasi pada prinsip-prinsip good governance. Konsep ini bukan sekadar retorika, melainkan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, partisipatif, dan berkeadilan (United Nations, 2006). Tanpa implementasi good governance yangsungguh-sungguh, amanah dalam Surah Al-Ahzab ayat 72 akan terasa berat dan berpotensi sia-sia, mengingat potensi kedzaliman dan kebodohan manusia jika tidak dikelola dengan baik.

Belajar dari model pendidikan karakter di Jepang yang menekankan cinta diri (integritas, kejujuran, disiplin, gaya hidup sehat), cinta sesama (melayani dengan empati), dan cinta lingkungan (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Jepang, 2017), kita dapat melihat pentingnya internalisasi nilai-nilai dalam pelayanan publik. Paradigma "merasa terhormat" saat dilayani atau "merasa berkuasa" saat melayani merupakan distorsi yang perlu dihilangkan. Jabatan publik adalah amanah yang diemban berkat dukungan masyarakat, sehingga pelayanan terbaik denganLandasan keikhlasan menjadi esensi yang perlu dipraktikkan.

Oleh karena itu, inovasi dan perubahan berkelanjutan menjadi relevan bagi Kementerian Agama. Implementasi sistem perencanaan pembangunan nasional yang menekankan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sinergi, dan partisipasi masyarakat (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004) memerlukan manajemen yang adaptif. Sinkronisasi perencanaan anggaran menjadi krusial. Digitalisasi layanan, seperti inisiatif aplikasi SENYUM milik Kemenag Kota Malang, bukan hanya respons terhadap tren teknologi, tetapi juga jawaban atas kebutuhan publik yang semakin terhubung. Evaluasi dari Tim Penilai Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan pengembangan SENYUM sebagai pendorong peningkatan kinerja.

Inovasi tidak terbatas pada teknologi informasi, tetapi juga mencakup pengelolaan sumber daya manusia, perumusan kebijakan, pembangunan jaringan kerja, dan bahkan pola pikir. Manajemen risiko harus terintegrasi dalam setiap tahapan perencanaan dan pengawasan. Perbaikan tata kelola pemerintahan harus menjadi proses yang berkelanjutan.

SAKIP dalam Manajemen Pemerintahan

Mengelola negara beragama seperti Indonesia dalam dinamika peradaban modern memerlukan manajemen pemerintahan yang tidak hanya kompeten secara teknokratis, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan sosial yang kuat. Aparatur Kementerian Agama harus mampu menjadi administrator yang profesional sekaligus pemimpin yang berintegritas dan berempati. Implementasi fungsi-fungsi manajemen pemerintahan (Planning, Organizing, Actuating, Controlling) yang dilandasi oleh prinsip-prinsip good governance dan didorong oleh semangat inovasi berkelanjutan adalah kunci untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima. Di sinilah SAKIP hadir sebagai mekanisme kontrol yang esensial dalam siklus manajemen pemerintahan. Mari kita telaah poin-poin urgensi SAKIP dan kaitannya dengan konsep yang telah dibahas:

  • Mendorong Akuntabilitas: SAKIP secara langsung mengimplementasikan fungsi pengendalian (controlling) dalam manajemen pemerintahan. Dengan adanya kejelasan tanggung jawab dan pengukuran kinerja, instansi pemerintah dipaksa untuk mempertanggungjawabkan penggunaan sumber daya dan pencapaian tujuan yang telah direncanakan (planning). Dalam konteks Kementerian Agama, akuntabilitas ini sangat penting dalam mengelola amanah keagamaan dan anggaran negara secara bertanggung jawab kepada masyarakat.
  • Meningkatkan Transparansi: Transparansi yang dihasilkan oleh laporan kinerja SAKIP merupakan wujud dari prinsip good governance. Informasi yang terbuka memungkinkan pengawasan eksternal oleh masyarakat dan pihak-pihak terkait, sehingga meminimalisir potensi penyimpangan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja instansi, termasuk Kementerian Agama dalam menjalankan tugasnya mengelola urusan keagamaan.
  • Mendukung Pengambilan Keputusan: Informasi kinerja SAKIP menyediakan data empiris yang krusial bagi pimpinan instansi dalam proses perencanaan dan penganggaran (planning), serta dalam mengarahkan pelaksanaan program dan kegiatan (actuating). Dengan data kinerja yang akurat, keputusan yang diambil akan lebih terukur dan berorientasi pada hasil yang efektif dan efisien. Ini relevan bagi Kementerian Agama dalam merumuskan kebijakan dan alokasi anggaran untuk program-program keagamaan yang tepat sasaran.
  • Meningkatkan Efisiensi dan Efektivitas: Fokus SAKIP pada pengukuran kinerja mendorong instansi untuk terus mencari cara yang lebih baik dalam mencapai tujuannya dengan sumber daya yang optimal. Ini berkaitan erat dengan prinsip efisiensi dalam manajemen. Dengan mengidentifikasi area yang kurang efektif, instansi dapat melakukan perbaikan dan alokasi sumber daya yang lebih tepat, termasuk dalam pengelolaan program-program keagamaan oleh Kementerian Agama.
  • Mewujudkan Good Governance: Seperti yang telah disinggung sebelumnya, SAKIP adalah pilar penting dalam mewujudkan good governance. Akuntabilitas dan transparansi yang dipromosikan oleh SAKIP adalah fondasi bagi pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan terpercaya. Implementasi SAKIP yang efektif di Kementerian Agama berkontribusi pada citra positif pemerintah dalam mengelola urusan yang sensitif dan penting bagi masyarakat.
  • Perbaikan Berkelanjutan: SAKIP tidak hanya berfungsi sebagai alat penilaian sesaat, tetapi juga sebagai mekanisme umpan balik untuk perbaikan berkelanjutan. Proses evaluasi kinerja yang sistematis mendorong instansi untuk terus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanan dari waktu ke waktu. Bagi Kementerian Agama, ini berarti terus beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan meningkatkan kualitas pelayanan di bidang keagamaan.

Secara ringkas, urgensi SAKIP dalam konteks manajemen pemerintahan, termasuk dalam pengelolaan negara beragama oleh Kementerian Agama, terletak pada perannya sebagai alat kontrol yang integral dalam memastikan akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektivitas. Implementasi SAKIP yangsungguh-sungguh adalah manifestasi dari komitmen terhadap good governance, yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Dengan demikian, SAKIP bukan hanya sekadar instrumen administratif, melainkan jantung dari fungsi pengendalian dalam manajemen pemerintahan yang modern dan bertanggung jawab. Keberadaannya memastikan bahwa amanah yang diemban oleh instansi pemerintah, termasuk Kementerian Agama, dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan efektif demi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.

Daftar Pustaka

Finer, S. E. (1970). Comparative government. Penguin Books.

Istianto, B. (2009). Manajemen pemerintahan. Gava Media.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2024). Pemerintah. Diakses dari https://kbbi.web.id/valid

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Jepang. (2017). The course of study for elementary schools, lower secondary schools and upper secondary schools: General remarks. Diakses dari https://www.id.emb-japan.go.jp/sch.html

Ndraha, T. (1997). Kybernologi (ilmu pemerintahan baru). Rineka Cipta.

Pew Research Center. (2017). World’s largest Muslim population in 2017. Diakses dari https://medium.com/@pewresearch

Shafritz, J. M., Ott, J. S., & Jang, Y. S. (2016). Classics of organization theory (8th ed.). Cengage Learning.

Siagian, S. P. (2014). Fungsi-fungsi manajerial. Bumi Aksara.

Supriyanto, B., & Suryadinata. (2006). Manajemen pemerintahan daerah. Gava Media.

Terry, G. R. (1958). Principles of management. Richard D. Irwin, Inc.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

United Nations. (2006). The concept of good governance. UN Economic and Social Commission for Asia and the Pacific.

Worldometer. (2024). Indonesia population (live). Diakses dari https://www.worldometers.info/

Achmad Shampton

Penulis yang bernama Achmad Shampton ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama .