Ada hal yang menarik dari materi Pelatihan Kepemimpinan Administrator yang berkaitan dengan komunikasi yang diampu Dr. Ispawati. Dalam labirin komunikasi, seringkali kita jumpai persimpangan jalan bernama "miskomunikasi". Sebuah situasi pelik di mana pesan yang diluncurkan tak berlabuh sesuai harapan, layaknya perahu oleng diterjang badai interpretasi yang berbeda. Kesalahpahaman, kebingungan, bahkan jurang ketidaksepahaman bisa menganga lebar, merusak jalinan relasi dan menghambat laju pekerjaan. Tak jarang, meski untaian kata telah dirangkai sebaik mungkin, kekacauan tetap menyelinap, membuat pesan menjadi kabur atau bahkan terdistorsi.
Namun, di tengah kompleksitas komunikasi ini, kita dapat menimba pelajaran berharga dari sirah nabawiyah, khususnya dari sikap mulia Rasulullah SAW dalam menghadapi perbedaan pemahaman di antara para sahabatnya. Sebuah peristiwa penting pasca Perang Khandaq menjadi cermin kebijaksanaan beliau dalam menyikapi "miskomunikasi".
Usai berjibaku melawan kaum kafir dalam Perang Khandaq yang melelahkan, di saat umat Islam tengah beristirahat dan meletakkan senjata di Madinah, datanglah perintah mendesak dari Allah melalui Malaikat Jibril. Bani Quraizhah, kaum Yahudi yang berkhianat di tengah gentingnya peperangan, harus segera ditindak. Rasulullah SAW tanpa menunda menginstruksikan para sahabat untuk bergerak cepat menuju perkampungan Bani Quraizhah. Bahkan, untuk mempercepat perjalanan, beliau mengeluarkan perintah yang tegas: "Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." (HR. Bukhari).
Di sinilah titik menariknya. Perintah yang jelas dari lisan mulia Rasulullah SAW justru memunculkan dua interpretasi yang berbeda di kalangan sahabat. Sebagian sahabat memahami perintah tersebut secara literal, sehingga mereka terus bergegas menuju Bani Quraizhah dan menunda shalat Ashar hingga tiba di tujuan, meskipun waktu shalat hampir habis. Mereka berpegang teguh pada larangan untuk tidak shalat sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizhah.
Namun, kelompok sahabat lainnya memiliki pemahaman yang berbeda. Mereka khawatir waktu shalat Ashar akan habis jika terus melanjutkan perjalanan tanpa berhenti. Mereka berijtihad bahwa maksud utama Rasulullah SAW adalah agar mereka segera sampai ke Bani Quraizhah, dan perintah untuk shalat di sana adalah penekanan atas urgensi tujuan. Akhirnya, mereka memilih untuk menunaikan shalat Ashar di tengah perjalanan, sebelum mencapai perkampungan Bani Quraizhah.
Ketika kedua kelompok sahabat yang berbeda pemahaman ini menyampaikan apa yang mereka lakukan kepada Rasulullah SAW, sebuah sikap yang luar biasa terpancar dari diri beliau. Alih-alih menegur atau memarahi salah satu kelompok atas "ketidaktaatan" mereka, Rasulullah SAW justru menunjukkan ridha dan permakluman. Beliau tidak menyalahkan satu pun dari kedua interpretasi tersebut.
Sikap Rasulullah SAW ini mengandung hikmah yang mendalam. Beliau memahami bahwa perbedaan pemahaman, apalagi dalam kondisi yang penuh tekanan dan kelelahan, adalah hal yang wajar. Beliau tidak memaksakan satu penafsiran tunggal atas perkataannya. Yang terpenting adalah niat baik dan kesungguhan para sahabat dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita dalam berkomunikasi. Bahwa sejelas apapun pesan yang kita sampaikan, selalu ada ruang untuk interpretasi yang beragam. Faktor-faktor seperti latar belakang, pemahaman, konteks, dan bahkan kondisi emosional penerima pesan dapat memengaruhi bagaimana sebuah informasi diterima dan dimaknai.
Lebih dari itu, sikap Rasulullah SAW mengajarkan kita tentang pentingnya tasamuh (toleransi) dan lapang dada dalam menghadapi perbedaan pemahaman. Beliau tidak menjadikan perbedaan interpretasi sebagai sumber perpecahan atau perselisihan. Justru, beliau merangkul keragaman pemahaman tersebut sebagai bagian dari dinamika umat.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup keluarga, pekerjaan, maupun interaksi sosial, kita pasti akan menjumpai berbagai bentuk miskomunikasi. Belajar dari ridha Rasulullah SAW, hendaknya kita tidak terburu-buru menyalahkan atau menghakimi pihak lain yang berbeda pemahaman. Alangkah baiknya jika kita mengedepankan dialog, klarifikasi, dan berusaha memahami sudut pandang orang lain.
Dengan meneladani sikap Rasulullah SAW, kita diajak untuk lebih bijak dalam berkomunikasi. Bahwa tujuan utama komunikasi bukanlah untuk memaksakan pemahaman tunggal, melainkan untuk mencapai kesepahaman dan keharmonisan. Ketika pesan tak sampai utuh sesuai harapan, ridha dan permakluman adalah kunci untuk merajut kembali jalinan komunikasi yang mungkin sempat renggang. Inilah esensi kebijaksanaan dalam berinteraksi, sebagaimana dicontohkan oleh suri teladan terbaik, Rasulullah Muhammad SAW.