Bimbingan Perkawinan Sebagai Instrumen Pemberdayaan Gender Dalam Pembentukan Keluarga Sakinah

Oleh: Ernawati

Bimbingan perkawinan yang difasilitasi melalui modul Fondasi Keluarga Sakinah oleh Kementerian Agama RI memiliki potensi besar sebagai instrumen pemberdayaan gender dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan setara. Modul ini telah menunjukkan upaya serius untuk mengintegrasikan nilai-nilai mubadalah, yaitu prinsip relasi suami-istri yang dilandasi keadilan, kesalingan, dan proporsionalitas peran. Konsep mubadalah, sebagaimana dijelaskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir (2019), menekankan pentingnya membangun relasi yang saling memberi, saling memahami, serta saling bertanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Relasi ini bukan berdasarkan dominasi satu pihak atas pihak lain, tetapi atas dasar musyawarah dan kesepakatan bersama.

Dalam konteks keadilan, prinsip mubadalah menggarisbawahi bahwa keadilan dalam rumah tangga tidak berarti pembagian tugas yang identik, melainkan pembagian peran yang proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, dan kesepakatan pasangan. Modul Fondasi Keluarga Sakinah mencerminkan hal ini melalui materi mengenai pembagian peran suami dan istri yang tidak kaku, melainkan fleksibel dan berbasis dialog (Subdit Bina Keluarga Sakinah, 2017). Pendekatan ini selaras dengan upaya dekonstruksi peran tradisional yang selama ini menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Dengan demikian, kesalingan dalam pengambilan keputusan, pengasuhan anak, maupun dalam urusan ekonomi rumah tangga menjadi bagian dari relasi yang sehat dan setara (Oktaverina, 2020).

Penerapan nilai-nilai mubadalah ini juga sejalan dengan lima pilar utama perkawinan dalam perspektif Islam. Pilar pertama, yaitu berpasangan (azwāja), sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Naba’: 8, mencerminkan fitrah manusia untuk hidup berdampingan secara sejajar. Pemahaman ini diperkuat dengan prinsip mubadalah yang menekankan bahwa pasangan hidup adalah mitra, bukan atasan atau bawahan. Pilar kedua, mitsāqan ghalīzhan atau janji yang kokoh, sebagaimana tertuang dalam QS. An-Nisa’: 21, menyiratkan tanggung jawab bersama yang harus dibangun di atas kepercayaan dan komitmen saling menjaga. Dalam hal ini, bimbingan perkawinan perlu mengedepankan dialog yang setara antara suami dan istri sebagai bagian dari komitmen tersebut (Kodir, 2019).

Pilar ketiga, yaitu mu‘āsharah bil ma‘rūf (bergaul dengan baik), sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa’: 19, sangat menekankan pentingnya perlakuan yang baik, penuh kasih, dan hormat antara suami dan istri. Prinsip mubadalah sangat relevan di sini karena mengajarkan bahwa keharmonisan hanya bisa dicapai bila relasi dibangun di atas empati dan penghormatan timbal balik. Pilar keempat, antarāḍin (saling rela), mempertegas pentingnya setiap keputusan dalam rumah tangga dibuat atas dasar kerelaan dan persetujuan kedua pihak, bukan paksaan atau dominasi. Modul bimbingan yang mendorong praktik musyawarah turut mewujudkan pilar kelima, yaitu syūrā (musyawarah), sebagaimana diperintahkan dalam QS. Asy-Syūrā: 38. Prinsip ini memungkinkan terbangunnya rumah tangga yang responsif terhadap kebutuhan masing-masing pasangan dan adaptif terhadap tantangan kehidupan.

Analisis terhadap isi modul menunjukkan adanya upaya integrasi nilai-nilai kesetaraan gender, seperti mendorong perempuan untuk aktif dalam pengambilan keputusan keluarga dan menegaskan pentingnya dialog antara suami istri. Penelitian oleh Fatkudin, M. (2019) menegaskan bahwa edukasi pra-nikah dapat menurunkan angka perceraian dengan memperkuat kesiapan mental dan spiritual calon pasangan, sementara Abdul Jalil (2019) menemukan bahwa pelaksanaan bimbingan perkawinan di KUA mampu meningkatkan kualitas hubungan suami istri dan mengurangi konflik rumah tangga. Namun, kajian pustaka juga menemukan bahwa dalam praktiknya, penerapan prinsip-prinsip tersebut masih menghadapi tantangan, terutama akibat kuatnya budaya patriarkal dan keterbatasan pemahaman Fasilitator mengenai isu gender (Sofyan Basir, 2019). Selain itu, belum adanya sistem monitoring dan evaluasi yang komprehensif menyebabkan efektivitas integrasi perspektif gender dalam bimbingan perkawinan sulit diukur secara objektif.

Hasil kajian pustaka menunjukkan bahwa bimbingan perkawinan yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI melalui modul Fondasi Keluarga Sakinah tidak hanya berfungsi sebagai sarana edukasi bagi calon pengantin dalam membangun keluarga harmonis, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk memperkuat kesetaraan gender dalam rumah tangga (Subdit Bina Keluarga Sakinah RI, 2017). Modul ini memuat materi mengenai komunikasi efektif, manajemen konflik, serta pembagian peran suami istri yang menekankan prinsip kerja sama dan timbal balik (mubadalah), sehingga diharapkan mampu mengikis stereotip gender tradisional yang selama ini mengakar di masyarakat (Keputusan Dirjen Bimas Islam No. 379 Tahun 2018).

Lebih lanjut, literatur tentang pemberdayaan gender dalam keluarga menekankan bahwa kesetaraan tidak hanya berkaitan dengan pembagian tugas, tetapi juga meliputi penghargaan, pengakuan, dan kesempatan yang setara bagi suami dan istri dalam pengelolaan rumah tangga (Oktaverina, 2022). Oleh sebab itu, penguatan materi bimbingan perkawinan yang lebih eksplisit berperspektif gender serta pelatihan intensif bagi Fasilitator menjadi sangat penting. Sinergi antara Kementerian Agama, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil juga dibutuhkan untuk memperluas pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai keadilan gender dalam keluarga (Sari, 2021).

Dengan demikian, hasil kajian pustaka ini menegaskan bahwa bimbingan perkawinan melalui modul Fondasi Keluarga Sakinah berpotensi menjadi instrumen pemberdayaan gender yang efektif dalam pembentukan keluarga sakinah, harmonis, dan berkeadilan. Namun, optimalisasi peran tersebut memerlukan penguatan materi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta dukungan sistem evaluasi yang berkelanjutan agar tujuan pembentukan keluarga sakinah yang setara gender dapat tercapai secara menyeluruh.

Saran

Agar bimbingan perkawinan benar-benar mampu menjadi instrumen transformasi menuju keluarga yang sakinah dan berkeadilan gender, diperlukan sejumlah langkah strategis yang dapat memperkuat efektivitas program ini. Pertama, penguatan substansi materi modul bimbingan perlu dilakukan dengan lebih eksplisit mengintegrasikan prinsip-prinsip mubadalah yang menekankan keadilan, kesalingan, dan proporsionalitas peran suami-istri. Materi yang hanya menyentuh prinsip kesetaraan secara umum perlu diperluas dengan menyajikan studi kasus, simulasi musyawarah keluarga, serta panduan pengambilan keputusan bersama yang berpijak pada nilai-nilai Islam yang progresif dan adil gender ( Oktaverina, 2020. Kedua, kapasitas fasilitator bimbingan juga harus ditingkatkan melalui pelatihan intensif yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga substantif, terutama dalam memahami tafsir ayat-ayat keluarga yang responsif gender, sehingga mereka mampu membimbing calon pengantin secara reflektif dan transformatif (Basir, 2019).

Selanjutnya, pengembangan sistem evaluasi dan monitoring program secara berkelanjutan menjadi hal yang mendesak. Evaluasi ini tidak hanya mengukur tingkat partisipasi atau kepuasan peserta, tetapi juga sejauh mana peserta memahami dan menginternalisasi nilai-nilai keadilan gender dalam konteks rumah tangga mereka. Hal ini penting untuk menghindari pendekatan simbolik yang tidak berdampak pada praktik nyata (Sari dkk., 2021). Selain itu, kolaborasi lintas sektor melibatkan Kementerian Agama, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh agama progresif—perlu diperkuat guna memperluas jangkauan program dan mendorong penerimaan masyarakat terhadap nilai-nilai kesalingan dan kesetaraan yang telah diajarkan dalam Islam. Akhirnya, penting untuk terus mendorong riset kritis yang mengevaluasi implementasi bimbingan perkawinan dari perspektif gender, agar modul dan pelaksanaannya dapat terus disempurnakan seiring dinamika sosial yang terus berkembang.

Penulis adalah : Fasilitator Bimbingan Perkawinan pada kantor Kementerian Agama Kota Malang dan Mahasiswa Program Magister Kajian Wanita Pada pada Sekolah Pascasarjana Universitar Brwijaya Malang

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.