Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 9 Agustus 2024
TANYA: Assalamu’alaikum Wr. Wb. Orang tua kami sudah membagi harta kekayaannya melalui mekanisme hibah kepada seluruh anaknya semasa mereka masih hidup. Namun sekarang ini setelah orang tua kami meninggal dunia, Sebagian anak-anaknya meminta agar pembagian warisnya menggunakan aturan waris dan menggagalkan akad hibah yang dilakukan semasa hidup orang tua kami. Mohon petunjuk, bisakah Kementerian Agama menetapkan hibah yang sudah terjadi atau merekomendasikan seperti apa untuk penyelesaian sengketa keluarga kami?
Abdul Ghofur, Wonosalam
JAWAB: Wa’alaikumus salam Wr. Wb. Akad hibah merupakan salah satu bentuk transaksi peralihan benda dari pemilik benda kepada seseorang yang ditunjuk. Hibah juga merupakan perjanjian yang dilakukan secara sukarela antara pemberi hibah dan penerima hibah. Pada Pasal 1666 KUH Perdata, akad hibah adalah suatu persetujuan seorang penghibah untuk menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Hibah dapat berupa harta bergerak maupun tidak bergerak. Seperti uang, tanah, bangunan, kendaraan, perhiasan, atau aset lainnya. Namun, penting untuk dicatat bahwa harta yang akan dihibahkan harus dimiliki secara sah oleh pemberi hibah, tidak berasal dari hasil penipuan, pencurian, atau kegiatan yang bertentangan dengan Syariah yang dalam bahasa fikih disebut milkuttam.
Sebagaimana pasal 1688 KUHPer, hibah tidak bisa ditarik kembali kecuali karena tiga hal; pertama, bila syarat penghibahan tidak dipenuhi oleh penerima hibah. Kedua orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah. Ketiga, penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak memberi nafkah kepadanya.
Dalam tinjauan fikih, hibah tidak lagi bisa dicabut kembali setelah diserahkan bila hibah diberikan kepada orang lain. Bila hibah orang tua kepada anak, ulama berbea pendapat tentang boleh tidaknya dicabut kembali. Dalam kitab al-Mughni dijelaskan bahwa orang tua bisa membatalkan semua atau sebagian hibah yang telah diberikan untuk tujuan menyamaratakan pemberian kepada anak-anaknya meskipun penyamarataan pemberian itu tidak wajib.
Dalam penjelasan situs HukumOnline berkaitan dengan penarikan ulang hibah yang diberikan oleh orang tua yang sudah meninggal kepada ahli waris dinyatakan bahwa berdasar Pasal 916a sampai Pasal 929 KUHPer untuk kepentingan kewarisan, benda yang telah dihibahkan dapat “diperhitungkan kembali” nilainya ke dalam total harta peninggalan seolah-olah belum dihibahkan. Ketentuan ini berkaitan dengan legitime portie, yaitu bahwa jangan sampai hibah yang dahulu pernah diberikan oleh pewaris, mengurangi bagian mutlak yang seharusnya dimiliki oleh ahli waris.
Berdasarkan Pasal 920 KUHPer, ahli waris dapat melakukan tuntutan pengurangan terhadap hibah dalam hal bagian mutlak yang seharusnya para ahli waris terima tidak terpenuhi. Jika benda tersebut telah berada pada kekuasaan pihak ketiga, para ahli waris tetap memiliki hak untuk melakukan tuntutan pengurangan atau pengembalian benda tersebut (Pasal 929 ayat (1) KUHPer). Hak untuk memajukan tuntutan ini akan gugur setelah lewat waktu 3 (tiga) tahun sejak para ahli waris menerima warisan (Pasal 929 ayat (4) KUHPer).
Oleh karena itu ahli waris boleh mengajukan tuntutan pengurangan atau pengembalian benda yang telah dihibahkan kepada salah satu ahli waris dalam hal legitime portie (bagian mutlak) para ahli waris tidak terpenuhi dalam tinjauan hukum positif, sementara secara fikih penarikan kembali tidak lagi bisa dilakukan bila saat menghibahkan orang tua dalam keadaan sehat. Namun bila orang tua dalam keadaan sakit saat menghibahkan kemudian meninggal dunia akibat sakit itu, maka hibah berubah menjadi wasiat yang tidak bisa dilakukan untuk ahli waris dan bila bukan ahli waris hanya bisa diberikan maksimal 1/3 dari harta tinggalan.
Sebaiknya bila memang terjadi indikasi sengketa, sebaiknya meminta fatwa atau berperkara di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus hibah ini. Namun untuk diketahui sekali lagi bila hibah sudah dilakukan lama saat orang tua hidup, tidak ada keharusan menyamaratakan pemberian orang tua kepada anak. Moga dapat dipahami. Wallahu a’lam. (*)