Madain Saleh: Dilema Antara Destinasi Wisata dan Larangan Rasulullah

Catatan Perjalanan Haji Achmad Shampton Masduqi.

Perjalanan pulang dari Masjid Nabawi, kita terlibat pembicaraan ringan dengan pak Syafiq. Mulai dari pekerjaannya dan perjalanan yang dia lakukan. Ia bercerita untuk menjalani pekerjaannya ia harus mengantar barang ke Taif, Madinah hingga Tabuk. Mendengar Tabuk saya teringat kisah perang Tabuk. Saya bertanya berapa jarak Jeddah sampai Tabuk? Ia menjawab sekitar 1000 km. Kalau Madinah-Tabuk? Pak Syafiq menjawab sekitar 700 km. Pikiran saya langsung menerawang, berarti Rasulullah menempuh jarak sekitar 700 km itu dengan kendaraan seadanya antara jalan kaki atau naik onta. Tak terbayangkan bagaimana beratnya perjalanan itu. Dalam kisah perjalanan itu menyimpan kisah kota Madain Saleh yang sekarang banyak didatangi orang dan menjadi destinasi wisata yang menarik, bahkan untuk jamaah haji atau umrah sebagai paket yang menarik.

Usai perang dari Tabuk yang berada diantara perbatasan Syam dan al-Hijr ini, rombongan Nabi sempat berhamburan di al-Hijr saat menemukan air. Suatu hal yang pantas saat jarak 700 km baru ditempuh 250 km dengan berbagai keterbatasan. Bahkan diriwayatkan 1 onta bisa dinaiki 10 sahabat karena keterbatasan kendaraan. Butuh ketersediaan air yang cukup guna perjalanan panjang yang tak mudah.

Namun Amr Ibn Sa’ad meriwayatkan bahwa saat para sahabat sudah mulai berhamburan mengambil air dari sumur di al-Hijr, tempat yang dikemudian hari disebut dengan Madain Saleh, Rasulullah memerintahkan membuang air yang sudah dikumpulkan dan menyegerakan pergi dari tempat itu. Kisah yang kemudian direkam dalam dalam assuara ayat 141-159 ini, Rasul menegaskan “unta dan kamu semua butuh minum sampai waktu yang ditentukan, jangan sampai kau beri dari sesuatu yang tidak baik.”

Al-Hijr adalah tempat dimana rumah-rumah kaum Tsamud yang dilaknati karena mengingkari Nabi Shaleh berada. Dalam riwayat Abdullah Ibn Umar, Nabi melarang masuk ditempat orang-orang yang dilaknati Allah. Nabi bersaba: “sesungguhnya Aku hawatir engkau terkena adzab yang mengenai kaum Tsamud yang dilaknati, jangan masuk kesana.” Salah seorang sahabat kemudian berkata: “kami takjub/mengagumi karya cipta mereka (memahat batu untuk rumah mereka) ya Rasulullah” "Tidakkah aku akan memberitahumu keajaiban yang lebih besar dari itu?" Seorang pria dari dirimu sendiri akan memberitahumu apa yang ada sebelum kamu, dan apa yang ada setelah kamu, maka istiqamah dan teruslah dalam kebenaran, karena Allah tidak akan peduli dengan siksaanmu, dan akan datang beberapa orang yang tidak akan membayar untuk diri mereka sendiri dengan apa pun.”

Kisah ini sebenarnya cukuplah jadi pengingat, tidak pantas bagi kita dengan apapun ketertakjuban kita atas teknologi yang diciptakan kaum Tsamud dalam memahat gunung untuk tempat tinggal mereka, Madain Saleh atau al-a’la tidak pantas dikunjungi. Karena Rasulullah sudah memperingatkan, agar mencari jalan lain bila memungkinkan menghindari jalanan Madain Saleh atau kalau tidak mungkin berjalanlah cepat.

Suatu hari, disebuah meja makan restoran, saya mendengar secara tidak sengaja pembicaraan sebagian jamaah haji tentang keajaiban Madain Saleh bahkan membanggakan bisa berkunjung ke tempat itu. Saya tercekat, apakah destinasi ini semestinya sesuatu yang tidak pantas didatangi jamaah haji? Bukankah kita pergi haji maupun umrah untuk menjalani perintah Rasulullah? Menginginkan mengikuti suri tauladan Rasulullah? Mengapa untuk memenuhkan hasrat kepo atau keinginan nafsu untuk mempunyai foto maupun memori video tentang tempat indah melupakan larangan Rasulullah. Tidak ingatkah kita bagaimana rombongan Rasul dari perang Tabuk semestinya lebih membutuhkan untuk sedikit mengambil air di tempat itu untuk perjalanan jauh, tapi dilarang? Sementara kita malah datang hanya untuk kesenangan sesaat. Wallahu a’lam.

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.