Malang—Di tengah dinamika kehidupan beragama yang semakin kompleks, Aula Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya dipenuhi oleh mahasiswa dan dosen yang antusias untuk mendengarkan ceramah dari sosok yang tak asing lagi: Guru Gembul. Dengan gaya khasnya yang humoris namun penuh makna, beliau membawakan tema terkait Moderasi Beragama yang sangat relevan di era sekarang. Pada momen itu, Kasi Pais Kemenag Kota Malang, Febrian Taufiq Sholeh, turut hadir memberi sambutan pengantar untuk mengapresiasi kegiatan tersebut.
Di awal ceramah, Guru Gembul mengungkapkan betapa pentingnya moderasi dalam beragama. "Agama seharusnya menjadi sumber kedamaian, bukan konflik," ujarnya dengan nada semangat. Beliau mengajak para peserta untuk merenungkan bagaimana banyaknya perpecahan yang terjadi akibat pemahaman yang ekstrem. Dengan analogi sederhana, ia membandingkan moderasi beragama dengan bumbu dalam masakan; terlalu sedikit atau terlalu banyak bisa merusak cita rasa.
Guru Gembul melanjutkan dengan beberapa contoh konkret tentang praktik moderasi. Ia menekankan bahwa moderasi bukan berarti menghilangkan identitas, melainkan menemukan titik tengah yang harmonis antara keyakinan dan toleransi. "Kita harus bisa menghargai perbedaan, seperti menghargai berbagai jenis masakan yang ada di Indonesia," tambahnya, mengundang gelak tawa para hadirin.
Sesi interaksi pun berlangsung hangat, dengan banyak pertanyaan dari mahasiswa. Guru Gembul menjawab dengan lugas dan penuh canda, membuat suasana semakin akrab. "Ingat, moderasi itu bukan berarti lemah, tapi justru menunjukkan kekuatan kita untuk beradaptasi," tegasnya.
Antusiasme para mahasiswa terlihat jelas saat sesi tanya jawab dimulai. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan, dari isu-isu sosial hingga pengalaman pribadi. Guru Gembul menjawab dengan bijak dan humor, seolah menghapus batas antara guru dan murid. "Ingat, setiap perbedaan adalah sebuah pelajaran. Mari kita jadikan setiap konflik sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh bersama," katanya.
Di akhir ceramah, Guru Gembul mengajak semua hadirin untuk berkomitmen menjadi agen perubahan. "Kita tidak hanya hidup dalam satu warna, tapi dalam pelangi. Mari kita jaga agar warna-warni itu tetap bersinar dalam kerukunan," tuturnya. Suara gemuruh tepuk tangan menggema di aula, seolah menjadi penegasan bahwa pesan tersebut telah mengakar dalam jiwa setiap peserta.
Ceramah ini ditutup dengan harapan agar generasi muda dapat menjadi agen perubahan dalam membangun suasana keberagaman yang harmonis. Sebuah penutup yang mengingatkan kita bahwa di tengah perbedaan, kita masih bisa bersatu dalam satu tujuan: menciptakan dunia yang lebih baik.