Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 11 juni 2024
Saat di pondok dulu saya beberapa kali mendengar bahwa Kiai Abdul Karim Lirboyo saat pergi haji berharap meninggal di Tanah Suci Mekkah. Tetapi semua keluarga berharap beliau bisa pulang haji dalam keadaan sehat wal afiat.
Mengapa harus berharap kematian di Tanah Suci? Ada beberapa riwayat hadits yang menceritakan keutamaan orang yang meninggal dunia. Seperti riwayat Thabrani, Abu Ya’la, Daruquthni dan Al Baihaqi yang mendokumentasi dawuh Rasulullah; “Barangsiapa yang k e l u a r ruma h untuk berhaji dan berumrah kemudian dia meninggal dunia, maka amalannya tidak akan ditolak dan tidak dihisab, dan disampaikan padanya masuklah surga”.
Keinginan bisa dicabut nyawanya saat di Tanah Suci itu bukan berarti tidak berusaha sehat dalam menjalankan ibadah haji, atau menerjang setiap perilaku yang mengancam jiwa hanya karena berharap kematian. Salah satu tujuan agama adalah hifdzunnafsi, menjaga jiwa. Bi la seseorang diperkenankan agama berharap kematian dengan melakukan berbagai hal yang bisa mengancam jiwa, tentu bertentangan dengan tujuan agama.
Itulah salah satu alasan adanya istitoah kesehatan, jangan sampai jamaah haji yang diberangkatkan ke Tanah Suci mempunyai masalah kesehatan, tidak mandiri hingga kematian menjemput sebagai bentuk taqdir.
Seperti halnya seorang yang mati syahid saat berperang, ia harus terus berusaha berperang melawan kuffar dan harus terus berusaha menyelamatkan jiwanya. Tidak mempersilahkan musuh membunuhnya untuk mendapatkan syahid. Khalid Ibn Walid sosok pejuang pemberani, yang saat berperang selalu menang. Ia berharap bisa meninggal dunia saat berperang, tetapi ternyata ia ditaqdirkan meninggal dunia diatas tempat tidur.
Di era area Jamarat belum dibuat bertingkat dan sering terjadi kematian karena banyaknya jamaah yang ingin mendapatkan keutamaan lempar jumrah di waktu afdlol. Habib Umar Ibn Muhammad Ibn Hafidz memfatwakan bahwa siapa saja yang ingin mendapatkan keutamaan lempar jumrah di waktu afdlol tetapi dia tahu risikonya adalah kematian karena berdesakan, dan dia ngotot melakukan itu dan ternyata dia benar-benar mengingal dunia saat melakukannya, maka dia tidak mati syahid tetapi dihukumi bunuh diri. Itulah kenapa Kementerian Agama menggandeng Kementerian Kesehatan dalam penyelenggaraan haji ini, petugas haji yang mendampingi kloter dilengkapi tiga orang tim medis untuk berikhtiyar menjaga kesehatan para jamaah.
Betapa menggiurkannya bila kita termasuk dalam hadits barang siapa yang berhaji kemudian meninggal dunia maka dia akan dicatat sebagai orang yang pergi haji selamanya hingga hari kiamat. Tetapi ketentuan ini tidak boleh dilakukan dengan cara menyakitkan diri sendiri dan tidak menjaga kesehatan. Rasulullah menegaskan : “la darara wala dirara” tidak boleh menyakiti diri sendiri ataupun menyakiti orang lain.
Setiap dari kita harus berusaha sehat dengan berbagai cara sebagai bentuk kesyukuran atas pemberian tubuh dan kehidupan dari Allah. Namun bila usaha itu sudah maksimal tetap saja Allah mentaqdirkan kematian, dan kematian itu ada di Tanah Suci itulah harapan setiap manusia yang beriman. Karena janji itu pulalah tidak diperkenan setiap jenazah yang mati di Tanah Suci dibawa keluar atau dipulangkan ke tanah air. Karena salah satu persyaratan naqlu janazah, memindah mayat yang sudah meninggal, harus ke tempat yang lebih baik dan tidak ada tempat yang lebih baik daripada Kota Makkah.
Jaga terus kesehatan wahai para jamaah haji Indonesia, semoga Haji Mabrur menghampiri dan Ridlo Allah SWT menemani setiap hati yang bersimpuh dihadapan ilahi. Dan sungguh kenikmatan besar, Bagi Mas Wizdan Fauran Lubis, mantan Ketua Gerakan Pemuda PB al Washliyah yang wafat pada 10 Juni 2024 saat melayani jamaah haji di sektor khusus Masjidil Haram, bisa menjadi tetangga Sayyidah Khadijah, di istirahatkan di Tanah Suci, berstatus haji sepanjang masa hingga hari kiamat. Surga menantimu Mas. Wallahu a’lam. (*)