Belajar Berintegritas Dari Kyai Wahid Hasyim

Mimbar Agama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama pada Nopember-Desember 1950 memuat amanat Menteri Agama KH.A.Wahid Hasyim dalam Konferensi Pendidikan di Jogjakarta.
Dalam amanat tersebut, Kyai Wahid menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang baru saja bangun, yang bagaikan banjir menerjang penjajahan dan pondasi-pondasi kehidupan yang dibangun oleh bangsa barat sebagai penjajah.


Semangat Kemerdekaan yang diilustrasikan sebagai banjir dan menerjang berbagai bangunan itu menjadikan Indonesia sebuah tanah lapaong yang kosong. Dengan kondisi tanah kosong itu, memungkinkan tiga hal yaitu yang pertama tanah kosong itu diisi dengan bangunan dan gedung kediaman manusia beradab menurut model baru, kedua dibiarkan dulu hingga menyerupai padang rumput dan yang ketiga ditaburi bibit-bibit pohonan yang liar. Kyai Wahid menilai kemungkinan yang kedua tidak mungkin terjadi di Indonesia. tidak mungkin tidak ada yang peduli dan membiarkan tanah kosong tadi tidak dipelihara, masing-masing ingin menunjukkan jasa dan menggunakannya menurut yang dianggapnya baik. Tinggal dua kemungkinan, yaitu mengatur tanah kosong tadi menjadi kampung halaman dan menjadi tempat tinggal manusia yang beradab atau diatur menjadi hutan belukar yang menggunakan hukum rimba.


Kunci dari pilihan ini menurut Kyai Wahid adalah pendidikan. Pendidikan jiwa atau rohani ataukah pendidikan secara jasadi/badan saja. Pengertian pendidikan disini bukan sekedar dalam arti bahasa tetapi ditinjau dalam sudut pandang filsafat. Pendidikan barat yang dulu sekedar diartikan pengetahuan barat, adat istiadat barat dan bahasa secara lahir, maka yang dimaksud disini adalah pendidikan yang didasarkan pada filsafat barat yang pokok yaitu kebendaan atau materialism meski wadahnya mungkin bisa dinasionalkan, adat istiadat nasional atau bahasa nasionalkan tapi substansinya masih berprinsip kebendaan.

Sementara pengertian pendidikan ketimuran lebih diartikan sebagai upaya memelihara ruhani dengan tetap memperhatikan kepentingan lahir dan tidak fatalistik.

Dalam masalah pendidikan ini, Kyai Wahid menyebutkan ada dua golongan yang tertipu. Yang pertama adalah golongan yang merasa dirinya paling tahu sehingga arogan dan yang kedua adalah golongan yang inferior yang merasa lebih bodoh dari yang lain. Golongan pertama hanya akan memunculkan cara kerja yang tidak teratur dan serampangan dan golongan yang kedua yang pro kemapanan, tidak berbuat apapun karena tidak berani bertindak dan peragu. Kedua golongan ini muncul dari kemalasan berfikir yang banyak menjangkiti bangsa kita yang harus dirubah dan ditinggalkan.


Dalam point terakhir, Kyai Wahid menjelaskan bahwa banyak golongan ketuhanan (agamis) merasa kecewa dengan perkembangan kemerdekaan. Tetapi kekecewaan ini akan menjadi energi positif bila kemudian mereka melakukan perencanaan yang matang, aturan yang di dipatuhi untuk menutupi hal-hal yang membuatnya kecewa. Kyai Wahid menutup amanatnya dengan mengajak senantiasa berfikir memperbandingkan berbagai teori, mencari kelemahan teori itu dan melakukan perencanaan yang baik dalam membangun Indonesia. Senantiasa melakukan evaluasi dan kontroling dalam mengaplikasikan perencanaannya agar dapat mengetahui seberapa banyak perencanaannya dapat dilakukan.

Dari amanat ini, sungguh kita disadarkan bahwa reformasi birokrasi, tidak digagas awal reformasi tetapi jauh dari itu, Kyai Wahid Hasyim sudah menggelorakan dari Kementerian Agama di awal-awal Kemerdekaan. Banyak bangsa Indonesia yang anti penjajahan tetapi masih bermental penjajah.

Belajar dari amanah Kyai Wahid Hasyim ini, sesungguhnya reformasi birokrasi akan berjalan dengan baik bila kita terus berfikir dan mendasari setiap langkah dengan pendidikan ketimuran yang mengedepankan ruhani tanpa meninggalkan kebutuhan lahir. Bukan mengejar capaian materialistik yang simbolistik, tetapi kosong secara ruhani. Mental materialistik yang dibibit di era orde baru harus dikikis sehingga Kementerian Agama benar-benar menjadikan Agama sebagai pondasi dalam pelayanan. Banjir reformasi seharusnya memberangus mental materialistik dan kita menanam bibit peradaban baru yang manusia dan beradab dengan panduan agama. Bukan kemudian kita membiarkan Indonesia setelah reformasi menjadi hutan belantara dan berlaku hukum rimba didalamnya.

Untuk apa predikat Wilayah Bebas dari Korupsi diraih, bila mental kita masih korup. Bila predikat wilayah bebas dari korupsi diraih tetapi mental kita masih korup, maka sama halnya menutupi mental materialistik itu dengan surban wilayah bebas dari korupsi.

Achmad Shampton

Penulis yang bernama Achmad Shampton ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama .