TANYA: Assalamu’alaikum,Gus mau bertanya terkait hukum salat Witir, seperti salat Tarawih apakah ada penjelasannya? Ini ada imam di masjid yang salat Witir seperti salat maghrib dan jamaah menjadi ramai dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan di masjid-masjid. Zain +62 812-3423-xxxx
JAWAB: Wa’alaikumussalam. Masalah cara salat Witir ini adalah masalah khilafiyah. Tergantung seseorang memandang dengan kacamata apa. Memang perlu banyak edukasi dan membuka banyak referensi untuk bisa saling memahami dan menghargai. Untuk itu tidak bijak bila masyarakat tidak mengerti banyak tentang khilafiyah diajak salat dengan cara yang tidak sesuai dengan budaya mereka. Itulah pentingnya memilih imam yang bijak agar tidak gaduh sehingga mempengaruhi adab dalam beribadah.
Kita bahas mulai dari perbedaan pandangan tentang hukum salat Witir. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’lamul Anam Juz 2. Salat Witir ini hukumnya sunnah muakkadah menurut Imam Syafii dan hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah mendasarkan pada hadits Nabi: “Witir adalah hak bagi orang muslim dan barang siapa tidak menjalankan witir maka bukan golonganku.” Hadits Riwayat Abu Dawud dan disahihkan Hakim.
Sementara itu Imam Syafii menganggap sunnah dengan mendasarkan pada hadits yang lain yang menyatakan bahwa: “Witir itu tidak wajib seperti salat lima waktu, tetapi hukumnya sunnah yang disunnahkan Rasulullah. Hadits Riwayat Nasa’i.
Berapa rakaat shalat witir itu dan bagaimana caranya? Banyak hadits yang berbeda-beda tentang hal ini. Ada Riwayat Bukhari Muslim yang menyatakan: “Rasulullah shalat malam dengan sepuluh rakaat dan witir dengan satu rakaat, dan salat dua rakaat fajar. Maka jumlah keduanya menjadi tiga belas rakaat.”
Dari Riwayat Bukhari Muslim pula, dinyatakan: “Rasulullah salat malam tiga belas rakaat, dan witir dari tiga belas rakaat itu, salat witir lima rakaat tanpa duduk tahiyat kecuali diakhir rakaat.”
Hadits pertama menunjukkan bahwa witir dilakukan Rasulullah dengan satu rakaat. Pada hadits kedua witir dilakukan Rasulullah dengan lima rakaat. Dari hadits pertama ini Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat witir minimal dilakukan satu rakaat. Ulama dari kedua mazhab ini menyatakan dibawah sempurna witir bisa dilakukan tiga rakaat dan paling banyak sebelas rakaat hal ini didasarkan pada hadits masyhur yang menyebutkan maksimal sebelas rakaat.
Prakteknya dilakukan dengan dua rakaat-dua rakaat berdasar hadits “salat malam itu dua dua. Bila salah satu diantaramu menghawatirkan subuh, maka salat lah satu rakaat untuk me ngganjili salat yang sudah dila kukan.”
Hanafiyah menganggap witir minimal dilakukan dengan tiga rakaat secara bersambung. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Imam Malik dalam Muwatta’ , mengenai witir satu rakaat, Imam Malik berkata: “Ini tidak kita lakukan di mazhab kami, witir itu tiga rakaat.” Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mendasarkan pada Hadits Aisyah: “Nabi salat dengan empat rakaat, kemudian empat rakaat kemudian tiga rakaat.”
Dalam Riwayat Aisyah yang lain disebutkan: “Rasulullah menjalankan witir dengan empat rakaat kemudian tiga atau enam rakaat kemudian tiga atau delapan rakaat kemudian tiga dan sepuluh rakaat kemudian tiga. Nabi tidak pernah witir kurang dari tujuh rakaat dan tidak pernah lebih dari tiga belas rakaat.” Hadits Riwayat Abu Dawud.
Dalam kitab Taqriratus Sadidah halaman 281-282 dinyatakan bahwa witir minimal satu rakaat, dibawah sempurna tiga rakaat dan yang sempurna adalah sebelas rakaat. Mengenai caranya ada dua cara: “disambung dan diputus”. Disambung langsung tiga rakaat dengan dua tahiyat seperti salat Maghrib atau disambung tiga rakaat dengan satu tahiyat akhir. Diputus dengan menjalankan dua rakaat salam kemudian satu rakaat salam. Dan cara diputus ini menurut ulama Syafiiyah yang paling utama dan disambung langsung seperti salat Maghrib hukumnya makruh.
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa masing-masing Mazhab memiliki dasar hadits masing-masing yang saling menguatkan pendapat mereka. Karenanya tidak sepantasnya gaduh hanya karena perbedaan cara. Hanya memang perlu edukasi berkesinambungan untuk memberi kepahaman tentang khilafiyah agar tidak gaduh dan saling menyalahkan. Wallahu a’lam. (*)
Oleh: Gus Achmad Shampton Masduqie Kepala Kemenag Kota Malang
Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada Senin, 20 Maret 2025