Catatan Perjalanan Haji Achmad Shampton Masduqi.
53 hari meninggalkan rumah untuk menjalani tugas negara melayani jamaah haji di Saudi Arabia menjadi pengalaman yang sangat berharga. Untuk pertama kalinya saya menjalani tugas sebagai pembimbing ibadah di sektor Makkah, satgas jamarat dan akhirnya dipindah menjadi konsultan ibadah di daerah kerja Madinah. Hampir setiap hari berhubungan dengan kyai-kyai via whatsapp maupun berdiskusi dengan para kyai di daerah kerja Makkah maupun Madinah. Meja makan serasa meja rapat yang tiada henti digunakan membicarakan masalah-masalah fikih haji.
Putusan murur atau hanya melewati muzdalifah sebelum prosesi armuzna contohnya, para Konsultan Ibadah berupaya mencari pendapat-pendapat ulama yang meringankan jamaah dan tidak memberatkan. Tidak cukup itu Kementerian Agama menghadirkan Mustasyar Diny dan meminta pendapat berbagai organisasi masyarakat Islam. Tidak semua ulama menyetujuinya, MUI contohnya tetap bersikukuh harus dilaksanakan dan bila ditinggalkan harus membayar dam. Untungnya dalam musyawarah para Konsultan Ibadah dan para pembimbing ibadah sektor mendapat dukungan dari Nahdlatul Ulama yang memberikan pilihan pendapat ulama yang menyatakan mabit di Muzdalifah adalah sunnah, ia bisa ditinggalkan bila udzur dan disunnahkan membayar dam tapi tidak diwajibkan.
Masalah ini baru dibahas di tanah suci setelah melihat kenyataan bahwa Muzdalifah ternyata menjadi menyempit dengan pembangunan banyak toilet. Sementara jumlah jamaah membengkak karena adanya tambahan kuota. Setelah diputuskan bahwa untuk mengurangi kepadatan Muzdalifah mereka yang disabilitas maupun sepuh dimururkan dengan hanya melewati Muzdalifah sebelum jam 12 malam. Tentu tidak mudah mensosialisasikan hal ini karena sejak awal edukasi dalam manasik haji mabit Muzdalifah itu hukumnya wajib. Hampir setiap hari kami harus bergantian mengunjungi kloter-kloter jamaah haji untuk memberikan edukasi tentang murur ini. Untungnya meski tidak semua menerima tetapi hanya sedikit yang menolak. Alhamdulillahnya pada visitasi edukasi terakhir di Madinah, program murur ini diapresiasi oleh seorang ulama dari Banten. Menurutnya ini menjadi terobosan yang luar biasa karena mereka yang di Muzdalifah menjadi tidak terlalu padat dan berdesakan.
Dilapangan masalah terus berkembang tiada henti. Kawan-kawan sektor khusus Masjidil Haram menghubungi bagaimana menyikapi mereka yang belum selesai thawaf sudah minta pulang, atau belum selesai sai kemudian minta pulang. Saya sendiri ketemu dengan seorang kakek dari Medan yang menggunakan pakaian ihram yang minta carikan becak karena pingin pulang ke hotel. Saya tanya sudah selesai thawafkah? Dia menjawab sudah, saya tanya sudah selesai sai kah? Dia bilang baru dua kali putaran. Saya tawari untuk mencarikan kursi roda agar bisa meneruskan thawafnya ia menolak karena alasan tidak punya uang untuk sewa kursi roda. “saya pulang sajalah, saya sudah lelah.” Secara kemanusiaan bisa saja kita mengantar dengan mencarikan taksi ke hotelnya, atau mencari bus shalawat kearah hotelnya. Tetapi masalahnya bagaimana dengan ibadahnya? Sahkah? Tidakkah sayang, antri lama tetapi ibadahnya ternyata sia-sia? Secara konsep fikih pasti memberi solusi, karena fikih adalah dzanniyah tetapi masalahnya harus dicarikan dalilnya dan itu tidak mudah.
Saat jelang armuzna, kawan-kawan petugas terutama yang barusaja haji sibuk bertanya tentang instruksi tidak boleh menggunakan pakaian ihram, harus menggunakan pakaian petugas karena mereka diberangkatkan ke arafah sejak tanggal 7 Dzulhijjah karena dalam konsep layanan prima, petugas harus ada sebelum jamaah ada. Instruksi larangan penggunaan pakaian ihram karena belajar dari kasus yang saya alami bersama petugas tambahan. Kami para petugas tambahan harus tertahan di Bir Ali karena tidak dipercaya sebagai petugas Indonesia karena menggunakan pakaian ihram dan bersabar untuk mengikuti prosedur hingga 6 jam. Berdiam dalam bis tanpa tahu kapan bisa diberangkatkan. Saya mencoba bertanya kepada Kyai Muhib Aman Aly salah seorang Mustasyar Diny, ia menjawab harus membayar fidyah dan berdosa. Saya sampaikan tolong dicarikan adillah yang tidak ada dosanya, masalah fidyah insya Allah dibayarkan. Beliau tertawa.
Masalah tidak berhenti sampai disitu, ternyata masih banyak ketua kloter maupun pembimbing ibadah yang wacana bacanya kurang banyak hingga fatwa hukumnya sangat memberatkan jamaah. Utamanya jamaah lansia. Saya sampai harus membentak seorang ketua kloter yang memaksa nenek-nenek Kembali ke tenda sementara ia sudah setengah mati tidak lagi kuat berjalan.
Ala kulli hal, terlepas masalah hukum fikih pelayanan tahun ini lebih prima dari yang dahulu-dahulu. Saat ditugaskan memeriksa dan menjaga tenda arafah. Saya membayangkan beberapa tahun yang lalu saat bertugas sebagai petugas kloter, saya harus mencari solusi sendiri tanpa bantuan sektor. Sementara sekarang tiap tenda ditunggui petugas sektor arafah. Hingga pak safiq, salah seorang mukimin yang ditugaskan mengantar saya kemana-mana selama di Madinah mengatakan: “Wallahi tidak ada pelayanan jamaah haji yang sebaik Indonesia.” Bahkan salah seorang jamaah haji plus ada yang terheran-heran karena ternyata satu hotel dengan jamaah haji reguler.
Pembicaraan diberbagai tempat di sudut-sudut kantor daerah kerja Makkah dan Madinah mengevaluasi layanan haji dan mencari berbagai solusi kendala-kendala di lapangan yang terjadi membuat saya terpana dengan semangat memberikan yang terbaik bagi jamaah haji dari para petugas haji dan pimpinan Kementerian Agama. Persis seperti yang dikatakan Menteri Agama, layanan haji tahun ini adalah layanan yang terbaik, perkara ada kurang-kurangnya itu hall umrah karena semua petugas adalah manusia yang mempunyai keterbatasan. Mengakhiri catatan perjalanan haji saya sebagai petugas non kloter tahun ini, saya menjadi terinspirasi menyusun fikih haji bagi petugas agar para petugas paham betul dengan masalah perhajian dan bagaimana menyiasati keterbatasannya sebagai petugas dan bisa memberi solusi kepada jamaah secara umum. Semoga terwujud. Wallahu a’lam.