Tahu nda kawan, kita sering diingatkan Gus, untuk tampil sederhana nda mewah-mewah agar nda manas-manasi yang lain untuk jor-joran kemewahan atau keangkuhan seperti sindiran beliau di artikel Pakaian, Kekuasaan, dan Dialog yang Terbungkam. Tapi setelah itu kok mengirimi kita seragam kerudung untuk kawan-kawan yang ngantor di Kemenag Kota Malang? Kalau kita angan-angan dalam perjalanan hidup ini, kita seringkali dihadapkan pada paradoks antara yang tampak dan yang tersembunyi. Namun, adakalanya, yang tampak itu justru menjadi jendela, sebuah cermin yang memantulkan apa yang ada di dalam. Begitulah kiranya dengan penampilan kita, terutama bagi kita yang mengemban amanah di institusi yang begitu dekat dengan nilai-nilai spiritual.
Ada sebuah anjuran indah dalam tradisi kita: seorang Muslim hendaknya tampil perfect, simpatik, menarik, dan menyenangkan. Bukan sebaliknya, garang, sangar, dan menakutkan. Tapi sekali lagi bukan jor-joran kemewahan. Ini bukan soal persaingan mode, bukan pula tentang mengejar pujian semata. Lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana kita menghadirkan diri sebagai representasi dari nilai-nilai luhur yang kita junjung tinggi.
Jadi jangan salah paham ya, kita tidak sedang berbicara soal fashion show atau pamer brand mahal. Tetapi soal tampil prima. Rapi. Bersih. Profesional. Ini bukan sekadar urusan estetika, tapi ini soal image, soal credibility, dan ujung-ujungnya, soal kinerja kita!
Para ahli kepribadian pun jauh-jauh hari telah mengingatkan: "Al-wajhu wal 'ainu mir'atul bathin" – wajah dan mata adalah cermin hati. Apa yang terpancar dari luar, seringkali adalah refleksi dari apa yang bersemayam di dalam. Rasulullah SAW sendiri, dalam kebijaksanaannya, bersabda: "Uthlubul khaira 'inda shabahil wujuh" – carilah kebaikan sifat seseorang pada tampannya wajah, yang bisa kita maknai sebagai keseluruhan penampilan fisik yang terjaga dan memancarkan aura positif.
Bahkan Sayidina Umar bin Khattab RA, seorang pemimpin yang dikenal dengan ketegasannya, memberikan perhatian khusus pada hal ini ketika memilih utusan. Beliau berpesan: "Idza ba'atstum rasulan fathlubuhu hasanal wajhi hasanal ismi" – apabila kalian menugaskan seorang utusan, pilihlah orang yang tampan wajahnya dan baik namanya. Ketampanan di sini bukan sekadar soal garis wajah, melainkan lebih kepada keseluruhan pembawaan diri yang rapi dan menimbulkan kesan baik.
Khalifah Al-Ma'mun pernah merenungkan lebih dalam: "Ar-ruhu idza asyraqat 'alazh zhahiri fashabahah au 'alal bathini fafashahah" – ruh itu apabila menerangi fisik maka memantulkan ketampanan atau kecantikan, dan apabila menerangi hati maka melahirkan kefasihan lisan. Sebuah ungkapan yang menunjuk pada harmoni antara jiwa yang bersih dan penampilan yang terjaga.
Dalam konteks kita sebagai ASN Kementerian Agama, penampilan yang rapi bukanlah sekadar formalitas protokoler. Ia adalah sebentuk komunikasi tanpa kata. Ia adalah cara kita menunjukkan rasa hormat kepada masyarakat yang kita layani, kepada institusi tempat kita mengabdi, dan yang paling utama, kepada nilai-nilai agama yang kita emban.
Bayangkanlah, ketika seorang ASN Kemenag hadir dengan penampilan yang simpatik dan menyenangkan, bukankah hal itu akan menciptakan suasana yang lebih hangat dan terbuka? Masyarakat akan merasa lebih nyaman berinteraksi, lebih percaya untuk menyampaikan aspirasi, dan lebih respek terhadap pelayanan yang kita berikan. Sebaliknya, penampilan yang kurang terawat bisa saja menimbulkan jarak, bahkan prasangka yang tidak perlu.
Ini bukan soal menjadi sosok yang dibuat-buat, melainkan tentang menghadirkan diri dengan kesadaran bahwa kita adalah representasi. Kita membawa citra sebuah institusi yang seharusnya memancarkan kedamaian, kebijaksanaan, dan keindahan nilai-nilai Islam. Penampilan yang rapi adalah salah satu cara sederhana namun efektif untuk mewujudkan citra tersebut.
Maka, mari kita renungkan kembali. Setiap kali kita berhadapan dengan masyarakat, penampilan kita adalah pesan pertama yang mereka terima. Pesan tentang keseriusan kita dalam bekerja, tentang penghargaan kita terhadap mereka, dan tentang komitmen kita terhadap nilai-nilai yang kita anut. Bukan sekadar "kulit luar", penampilan yang rapi adalah sebentuk ikhtiar untuk menghadirkan diri secara utuh, lahir dan batin, sebagai pelayan umat yang patut dipercaya dan dihormati. Inilah barangkali, salah satu cara kita memaknai anjuran untuk tampil perfect di hadapan sesama, bukan untuk kesombongan, melainkan sebagai wujud syukur dan tanggung jawab atas amanah yang kita emban. Alasan ini pula yang mendasari petugas haji kita selalu harus menggunakan seragam, untuk menunjukkan keseriusan kita dalam melayani. Bukan untuk fungsi elitis. Penampilan adalah modal kerja kita.
Ingat, kita ini frontliner. Kita adalah wajah institusi. Penampilan kita adalah silent message yang kita kirimkan kepada masyarakat. Kalau pesannya positif, orang akan lebih percaya, lebih respek, dan lebih terbuka untuk menerima pelayanan kita. Tapi kalau pesannya negatif, ya siap-siap aja tembok penghalang komunikasi bakal makin tebal. bersih, wangi dan rapi yuk!!!