Uang bisa membeli apa saja—villa di Bali, mobil listrik terbaru, bahkan kopi seharga sejuta di rooftop hotel bintang tujuh. Tapi ada satu hal yang tak bisa dibeli bahkan dengan satu miliar rupiah: izin dari langit. Ribuan calon jemaah haji furoda tahun ini harus pulang dengan wajah lesu. Mereka yang sudah membayar ratusan juta rupiah untuk “jalur cepat” ke Tanah Suci, harus menerima kenyataan: visa tak kunjung turun. Arab Saudi menutup pintu furoda tanpa aba-aba.
Seolah langit berkata: “Maaf, bukan tahun ini.”
Padahal angka Rp 975 juta itu bukan main. Cukup untuk membangun rumah, menyekolahkan anak ke luar negeri, atau traveling ke lima benua. Tapi kali ini, uang itu hanya jadi angka—tidak bisa mengubah takdir.
Haji furoda dikenal sebagai jalur istimewa, jauh dari antrean belasan tahun. Tapi keistimewaan itu runtuh ketika Tuhan belum mengizinkan. Sebab haji bukan urusan status sosial. Bukan juga soal paket VIP atau hotel yang menghadap Ka'bah. Ia adalah panggilan. Dan panggilan itu tidak mengenal saldo rekening
Lihatlah Pak Ahmad, pedagang sayur di pasar tradisional. Ia menabung 20 tahun, hidup hemat, dan setiap malam berdoa agar diberi kesempatan ke Baitullah. Tahun ini, ia berangkat lewat jalur reguler. Dengan sandal jepit, tas biasa, dan hati yang luar biasa.
Sementara itu, di bandara, koper mewah dan ihram branded para jemaah furoda kembali ke rumah. Bukan karena tak punya uang. Tapi karena langit belum memberi izin.
Itulah bedanya panggilan dengan perencanaan manusia.
Tahun ini menjadi pengingat: bahwa ibadah bukan sekadar transaksi. Haji bukan sekadar wisata rohani. Ini adalah momen suci, yang hanya terjadi ketika Tuhan berkehendak. Bukan ketika rekening siap, tapi ketika hati bersih dan niat tulus.
Jadi, jangan sombong dengan saldo. Jangan berpikir bisa menyuap surga. Karena Tuhan tidak butuh sponsor, dan Ka'bah tidak menerima booking via travel agent.