Menghindari Gratifikasi: Menjaga Hati, Layanan, dan Akuntabilitas

Jelang rebahan istirahat malam, saya scroll-scroll media sosial dan menemukan ceramah ulama al-Azhar, Seikh Muhanna yang mengurai sebuah pernyataan Imam Abu Hasan Assadzily yang dinukil oleh Ibn Athaillah as-Sakandary. Saya merenung dan tergerak untuk menulis ini. Betapa intisari-intisari agama sesungguhnya adalah rem pakem dalam pelayanan publik.

Dalam dunia pelayanan publik, integritas bukan sekadar kata indah yang menghiasi dokumen visi-misi, melainkan ruh yang menghidupkan setiap kebijakan dan prosedur. Integritas itulah yang memastikan bahwa pelayanan diberikan secara profesional, akuntabel, dan bebas dari intervensi yang merusak. Salah satu ancaman terbesar terhadap integritas layanan adalah gratifikasi—pemberian dalam bentuk apapun yang diterima oleh penyelenggara layanan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dapat mempengaruhi independensi dalam mengambil keputusan.

Gratifikasi dan Benturan Kepentingan

Gratifikasi, meski sering dibungkus dengan dalih “ucapan terima kasih” atau “bentuk perhatian,” memiliki potensi besar menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan ini terjadi ketika keputusan atau tindakan yang seharusnya didasarkan pada aturan, SOP, dan standar layanan, justru dipengaruhi oleh hubungan personal atau imbalan tertentu.

Jika hal ini dibiarkan, maka dua kerusakan akan muncul sekaligus: standar layanan menjadi tidak konsisten dan kepercayaan publik runtuh. Ketika “jalur belakang” menjadi praktik umum, masyarakat tidak lagi menilai pelayanan dari kualitas prosedurnya, melainkan dari kedekatan personal atau besaran pemberiannya.

Pelajaran dari Abu Hasan As-Syadzili

Syaikh Abu Hasan As-Syadzili memberikan nasihat yang sarat makna:

قال الشيخ أبو الحسن الشاذلي : اهرب من خير الناس أكثر من أن تهرب من شرهم، فإن خيرهم يصيبك في قلبك وشرهم يصيبك في بدنك، ولأن تصاب في بدنك خير من أن تصاب في قلبك، ولعدو تصل به إلى الله خير من حبيب يقطعك عن الله
"Menjauhlah dari kebaikan seseorang lebih banyak, daripada engkau menjauh dari kejelekannya,
karena kebaikan seseorang itu akan mengenai hatimu sementara kejelekannya hanya mengenai ragamu.
Jika engkau terkena sesuatu namun hanya dalam ragamu, itu lebih baik daripada mengenai hatimu.
Dan seorang yang engkau anggap musuh namun engkau bisa wushul kepada Allah karenanya, itu jauh lebih baik daripada seorang kekasih yang memutusmu dari Allah."

Nasihat ini mengajarkan bahwa tidak semua yang tampak sebagai “kebaikan” membawa manfaat hakiki. Ada “kebaikan” yang justru menjerat hati kita dalam ketergantungan, rasa sungkan, dan kompromi terhadap prinsip. Dalam konteks gratifikasi, pemberian yang terlihat sebagai bentuk kebaikan bisa mempengaruhi hati petugas layanan, sehingga keputusan tidak lagi murni didasarkan pada aturan dan keadilan.

Kejahatan yang melukai fisik mungkin terasa berat, tetapi korupsi hati akibat gratifikasi lebih berbahaya karena merusak sumber pengambilan keputusan: nurani. Dan ketika nurani sudah terkontaminasi, SOP, standar pelayanan, dan aturan hukum bisa dilanggar dengan mudah, bahkan tanpa rasa bersalah.

Menjaga SOP dan Standar Layanan

Salah satu pilar akuntabilitas publik adalah kepatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP). SOP dibuat bukan untuk menghambat, tetapi untuk memastikan kesetaraan, efisiensi, dan transparansi dalam layanan. Gratifikasi memunculkan kecenderungan “tebang pilih” yang menggerus SOP, menciptakan diskriminasi pelayanan, dan akhirnya melahirkan ketidakadilan.

Dengan menolak gratifikasi, petugas layanan:

  1. Menjaga kebebasan hati dari intervensi pihak luar.

  2. Menghindari benturan kepentingan yang merusak keadilan pelayanan.

  3. Memastikan setiap warga mendapat pelayanan yang sama tanpa harus mencari “jalur belakang.”

  4. Memperkuat akuntabilitas di mata publik maupun Tuhan.

Menjaga Hati DAri Kebaikan Yang Menjerumuskan

Gratifikasi bukan hanya masalah hukum, tetapi masalah hati. Syaikh Abu Hasan As-Syadzili menegaskan bahwa menjaga hati dari “kebaikan” yang menjerumuskan jauh lebih penting daripada sekadar menghindari keburukan yang kasat mata. Dalam pelayanan publik, menjaga hati berarti menjaga profesionalitas, akuntabilitas, dan martabat lembaga.
Menolak gratifikasi bukanlah menolak kebaikan, tetapi menolak jebakan yang bisa memutuskan hubungan kita dengan nilai-nilai luhur dan dengan Allah.

Karena pada akhirnya, musuh yang memaksa kita tetap berada di jalur benar lebih bermanfaat daripada “teman” yang justru mengajak kita keluar dari jalan integritas.

Achmad Shampton

Penulis yang bernama Achmad Shampton ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama .