oleh Dr. Akhmad Seruji Bakhtiar
Kakanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur
Setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) mengemban amanah besar: menjadi pelayan rakyat. Lebih dari sekadar tugas administratif, peran ini adalah refleksi dari kemuliaan moral, integritas spiritual, dan tanggung jawab sosial. Dalam khazanah Islam, kepemimpinan bukanlah kehormatan yang menuntut, melainkan pengabdian yang tulus. Prinsip agung "Sayyidul qoum khadimuhum"—pemimpin adalah pelayan kaumnya—menjadi landasan filosofis yang menegaskan bahwa seorang pemimpin sejati adalah pelayan sejati. Dari sinilah, gagasan tentang ASN ideal muncul: mereka yang mendekati sifat Insan Kamil, manusia paripurna menurut ajaran tasawuf. Mereka melayani bukan hanya dengan keterampilan teknis, tetapi juga dengan hati yang jernih, akhlak yang luhur, dan kesadaran spiritual yang mendalam. Inilah hakikat sejati Zona Integritas: sebuah upaya krusial untuk membentuk pribadi ASN yang utuh, bersih, dan senantiasa bermanfaat.
Jiwa yang Berkemudi: Mengendalikan Nafsu, Meraih Rabbaniyyah
Imam al-Ghazali, cendekiawan Muslim terkemuka, menawarkan pemahaman mendalam tentang struktur jiwa manusia. Ia membaginya menjadi empat kekuatan:
-
Sab’iyyah (jiwa buas): Cenderung agresif dan penuh amarah. ASN yang dikuasai sifat ini akan menjadi pejabat arogan dan kasar, jauh dari sikap melayani.
-
Bahimiyyah (jiwa rakus): Penuh syahwat, rakus, dan malas. Ini adalah akar dari korupsi dan kemalasan birokrasi, di mana kepentingan pribadi mengalahkan pelayanan publik.
-
Syaithaniyyah (jiwa setan): Licik, manipulatif, penuh tipu daya. Sifat ini mendorong ASN untuk berdalih, menyembunyikan kesalahan, dan berkhianat pada amanah.
-
Rabbaniyyah (jiwa ilahi): Penuh hikmah, sadar, dan bijak. Inilah kekuatan yang harus mendominasi.
ASN yang tunduk pada tiga kekuatan pertama (sab’iyyah, bahimiyyah, dan syaithaniyyah) akan menjadi hambatan nyata dalam pelayanan publik. Sebaliknya, ASN yang dipimpin oleh kekuatan rabbaniyyah akan menjelma menjadi pribadi yang cerdas, ikhlas, dan penuh tanggung jawab. Mereka bekerja bukan hanya karena perintah atasan, tetapi karena kesadaran mendalam bahwa setiap pelayanan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Urgensi pembentukan zona integritas ada pada kemampuan untuk menekan jiwa-jiwa negatif dan memperkuat jiwa rabbaniyyah dalam setiap individu ASN.
BerAKHLAK dan Digitalisasi: Pilar Insan Kamil di Era Modern
Nilai-nilai dasar ASN yang dirangkum dalam BerAKHLAK—Berorientasi pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif—adalah instrumen fundamental dalam membentuk karakter ASN yang mendekati sosok Insan Kamil. Nilai-nilai ini menuntut bukan hanya kecakapan teknis, tetapi juga ketulusan hati.
Tantangan di era digitalisasi semakin mendesak. ASN dituntut untuk menguasai teknologi informasi, mempercepat pelayanan, serta menjaga efisiensi dan transparansi. Kompetensi digital bukan lagi sekadar tambahan, melainkan syarat mutlak. Namun, penguasaan teknologi tidak boleh menghilangkan ruh pengabdian. ASN bukanlah robot birokrasi. Ia adalah manusia yang dituntut untuk bersikap adil, empatik, dan melayani sepenuh hati. Maka, kombinasi antara penguasaan teknologi dan kedalaman akhlak adalah pilar utama bagi ASN yang berintegritas. Tanpa akhlak, teknologi bisa disalahgunakan; tanpa teknologi, pelayanan akan tertinggal.
Zona Integritas: Sebuah Kehormatan, Bukan Beban
Membangun Zona Integritas adalah sebuah kemuliaan, bukan beban. Ini adalah bentuk pengabdian sejati kepada masyarakat, sekaligus upaya meringankan diri dari pertanggungjawaban di hari akhir. Ketika integritas sebuah institusi kuat, layanan akan membaik. Ketika layanan membaik, kepercayaan masyarakat akan tumbuh. Dan ketika kepercayaan tumbuh, kecintaan masyarakat terhadap institusi akan lahir.
"Cinta masyarakat dimulai dari layanan yang mereka terima. Kalau masyarakat sudah jatuh cinta, maka mereka akan memiliki rasa kepemilikan, dan ikut menjaga martabat lembaga kita."
Oleh karena itu, setiap individu dalam sebuah instansi—dari staf paling bawah hingga kepala kantor—harus bergerak dalam irama yang sama. Tidak boleh ada celah. Karena satu saja penyimpangan bisa mencoreng citra seluruh instansi dan meruntuhkan kepercayaan yang telah dibangun dengan susah payah. Urgensi terletak pada kesadaran kolektif ini: setiap elemen adalah penentu keberhasilan Zona Integritas.
ASN, Insan Kamil, dan Amanah Pelayanan: Sebuah Panggilan Mendesak
Seorang Insan Kamil adalah mereka yang:
-
Memiliki kontrol penuh atas hawa nafsunya.
-
Menundukkan sifat sab’iyyah dan bahimiyyah kepada kehendak ilahi.
-
Menjadikan pelayanan sebagai ladang ibadah.
-
Menjaga akhlak dan kompetensi dalam satu tarikan napas.
Menjadi ASN adalah amanah. Namun, menjadi ASN yang berintegritas adalah keputusan pribadi yang menuntut kesadaran, latihan berkelanjutan, dan keberanian untuk melawan godaan. Mari kita niatkan bahwa setiap langkah kerja, setiap layanan, setiap inovasi, dan setiap keputusan adalah amal saleh yang kelak akan menjadi cahaya di hadapan Tuhan.
"Karena sesungguhnya, pejabat yang paling mulia bukan yang paling banyak fasilitasnya, tapi yang paling bersih tangannya dan paling ringan hisabnya."
Urgensi membangun Zona Integritas bukan hanya demi birokrasi yang lebih baik, tetapi demi melahirkan generasi ASN yang benar-benar menjadi Insan Kamil—manusia yang utuh, yang mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umat, dan menjadi teladan bagi bangsa.
Langkah Konkret Menuju Zona Integritas dan Insan Kamil:
Untuk memperkuat integritas dalam pelayanan publik dan membentuk sosok Insan Kamil, diperlukan langkah-langkah proaktif:
-
Internalisasi Nilai BerAKHLAK: Bukan sekadar slogan, tetapi budaya kerja nyata yang tertanam dalam setiap tindakan dan keputusan ASN.
-
Peningkatan Literasi Spiritual dan Etika Profesi: Melalui pelatihan berbasis hikmah tasawuf dan diskusi mendalam tentang etika, untuk memperkuat dimensi rabbaniyyah dalam diri ASN.
-
Pemanfaatan Teknologi Informasi Optimal: Untuk mendukung pelayanan yang cepat, transparan, dan akuntabel, tanpa mengorbankan empati dan sentuhan manusiawi.
-
Penguatan Pengawasan Internal Berbasis Kesadaran Spiritual: Menumbuhkan budaya malu terhadap penyimpangan dan takut kepada Tuhan, bukan semata karena aturan atau ancaman sanksi.