Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran[3]: 118)
Teman kepercayaan atau sering disebut dengan bithonah, seringkali menjadi sosok yang malah menusuk kita. Itulah kenapa Allah memperingatkan tentang hal ini. Bagi seorang pemimpin, ia tidak boleh mudah percaya pada bisikan orang lain meski orang terdekat karena terkadang ada orang yang tidak kuat menjadi orang terdekat dengan orang yang berkuasa hingga kemudian ia memanfaatkannya untuk meminjam tangan sang penguasa untuk menyerang musuhnya bahkan membunuh sendiri sang pemimpin.
Betapa banyak kejadian seperti ini disekitar kita, tidak sedikit pemimpin yang tergelincir terjerat aparat penegak hukum karena laporan atau jebakan orang terdekatnya. Untuk itu seorang pemimpin haruslah bijak dan mampu menyaring berbagai informasi yang ia terima hingga tidak mudah percaya dengan berbagai laporan yang tidak baik agar tidak mudah membuat keputusan yang tidak baik.
Banyak contoh tentang hal ini, orang-orang yang shaleh yang mendapat kepercayaan memegang tapuk pimpinan bahkan meletakkan jabatan karena salah menuduh orang. Dalam Kitab Dzahabil Abriz fi asrori khawasi kitabillahil aziz halaman 46 diceritakan tentang sosok pemimpin yang tidak segan mengakui kesalahan menerima laporan tuduhan sebelum melakukan klarifikasi, bahkan kemudian setelah mengetahui bahwa tuduhan itu salah, ia meletakkan jabatan sebagai pengakuan kesalahan menerima laporan tanpa klarifikasi.
Seseorang melaporkan kepada Khalifah Makmun Ibn Harun Al Rasyid bahwa Imam Musa al Ridla Ibn Ja'far Shadiq Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib masih menerima zakat dan shadaqah meski sudah mendapat santunan bagi Ahl al Bait dari Negara.
Khalifah Makmun Ibn Harun Al Rasyid kemudian datang ke Imam Musa al Ridla untuk menyelesaikan masalah ini.
"Wahai Musa, mengapa engkau sudah mendapat santunan tapi masih menerima zakat dan shadaqah?" Tuduh Khalifah Makmun.
"Demi Allah, saya tidak bohong saya tidak melakukan seperti apa yang anda tuduhkan." Jawab Imam Musa
"Oke, kalau begitu saya akan datangkan orang yang melaporkanmu padaku untuk mengklarifikasi laporannya dihadapanmu" kata Khalifah Makmun
Didatangkanlah orang yang melaporkan itu dihadapan Imam Musa al Ridla dan Khalifah Makmun, dan orang itu bersikukuh atas laporannya pada Khalifah bahwa Imam Musa menerima zakat dan shadaqah. Imam Musa kemudian berdoa
اللهم بك استفتح و بك استنج و بحمد صلي الله عليه وسلم إليك أتوجه اللهم اعطني من الخير من اعدائي فوق ما ارجو واصرف عني من الشر فوق ما أخاف واحذر فإنك تقدر ولا اقدر وتمحو ما تشاء وتثبت وعندكم ام الكتاب.
Ya Allah kepadaMu saya mohon dibuka dan mohon diberi kemudahan, dan dengan berwasilah pada Nabi Muhammad SAW saya menghadapMU. berilah aku kebaikan dari musuhku melebihi apa yang aku harapkan dan jauhkan aku dari keburukan melebihi apa yang aku takutkan dan aku kuatirkan. sesungguhnya Engkau kuasa dan aku tak kuasa. Engkau menghapus dan menetapkan apa yang Engkau inginkan dan disisiMU ummul kitab.
Usai Imam Musa membaca doa tiba-tiba orang yang melaporkan itu meninggal dunia. Khalifah Makmun kemudian mengelilingi mayat itu dan sangat terkejut saat ada sesuatu yang sangat mengerikan pada jasad sang mayat.
Menyadari kesalahannya karena menerima laporan seseorang dan langsung menuduh Imam Musa al Ridla, Khalifah Makmun kemudian melepas imamah yang dipakainya dan meninggalkannya di sisi Imam Musa, kemudian memberikan harta berlimpah seraya memberikan jabatan kekhalifahan kepada Imam Musa al Ridla.
Pemimpin yang menyadari bahwa dirinya tetap saja manusia yang tidak sempurna, tidak akan pernah berani menjanjikan apapun karena dia tidak bisa berubah menjadi Tuhan yang bisa mewujudkan segala yang dikehendaki rakyatnya, dan senantiasa berani mengakui kesalahan karena tidak ada yang maksum selain Nabi. Memuaskan semua orang tentu adalah harapan yang tidak mungkin tercapai. Karenanya seorang pemimpin yang baik, tidak boleh berhenti berbuat baik dan memberi tauladan meski fitnah menghampirinya bertubi-tubi. Karena mungkin saat berbuat baik pada seseorang, ada orang lain yang dengki dan iri. Saat ia menegakkan regulasi, banyak orang yang tidak nyaman karena terbiasa menerjang regulasi. Itulah kenapa, Allah nyatakan tawashaw bilhaq wa tawashaw bissabr, mengajak kebenaran memang butuh kesabaran. balasan Allah akan membalas mereka yang dzalim, bila tidak didunia di akhirat menunggu.
Jangan lelah berbuat baik ya….. salam integritas!!!