Selasa, 22 April 2025, Pelatihan Kepemimpinan Administrator sampai pada evaluasi akademik, setiap peserta diharuskan untuk menjawab berbagai pertanyaan. salah satu pertanyaan yang menggelitik saya adalah apa beda pemimpin dan pimpinan. Tergoda untuk menulis sosok pimpinan dan pemimpin dalam diri Rasulullah dan para khalifahnya.
Dalam diskursus tentang pengelolaan organisasi, khususnya dalam konteks pemerintahan yang kita ampu, seringkali kita menjumpai dua istilah yang tampak serupa namun menyimpan perbedaan mendasar: pimpinan dan pemimpin. Keduanya merujuk pada individu yang mengemban tanggung jawab untuk mengarahkan sebuah entitas, namun esensi dan pendekatan yang mereka bawa memiliki nuansa yang berbeda. Mari kita telaah perbedaan ini, lalu merenungkannya dalam cermin kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan Khulafa' Rasyidin radhiyallahu 'anhum.
Pimpinan, dalam konteks organisasi pemerintahan, cenderung berfokus pada struktur, sistem, dan pencapaian target operasional. Kekuatan mereka bersumber dari posisi formal, delegasi wewenang, dan aturan organisasi. Gaya pengelolaan yang dominan adalah direktif dan transaksional, menekankan pada kepatuhan terhadap prosedur dan kebijakan yang telah ditetapkan. Relasi dengan bawahan lebih bersifat hierarkis, dengan penekanan pada perintah, pengawasan, dan evaluasi kinerja berdasarkan indikator yang terukur. Motivasi yang digunakan seringkali berkisar pada insentif dan sanksi untuk mendorong pencapaian target. Dalam menghadapi perubahan, pimpinan umumnya lebih berorientasi pada mempertahankan stabilitas dan menjalankan perubahan sesuai dengan arahan dari jenjang yang lebih tinggi.
Di sisi lain, pemimpin melampaui sekadar pengelolaan operasional. Fokus utama seorang pemimpin terletak pada visi yang menginspirasi, pemberdayaan potensi individu dan tim, serta pengembangan kapasitas untuk mencapai tujuan jangka panjang organisasi. Sumber kekuatan mereka tidak hanya berasal dari jabatan, namun juga dari pengaruh, kepercayaan, karisma, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan membangun hubungan yang kuat dengan seluruh stakeholder. Gaya pengelolaan yang diterapkan cenderung partisipatif dan transformasional, berorientasi pada pengembangan kapasitas dan mendorong inovasi. Relasi dengan bawahan lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan mentor, dengan penekanan pada pengembangan potensi, memberikan inspirasi, dan membangun komitmen. Motivasi yang ditumbuhkan berasal dari inspirasi, visi yang kuat, dan pemahaman akan kebutuhan bawahan, sehingga mendorong keterlibatan dan motivasi intrinsik. Dalam merespons perubahan, pemimpin lebih proaktif dalam mengidentifikasi peluang, menginisiasi inovasi, dan memimpin organisasi melalui masa transisi dengan melibatkan seluruh tim.
Lalu, bagaimana potret kepemimpinan Rasulullah dan Khulafa' Rasyidin dalam bingkai perbedaan ini? Sesungguhnya, kepemimpinan mereka adalah perpaduan yang sempurna antara ketegasan seorang pimpinan dan kehangatan seorang pemimpin.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai kepala negara Madinah, tentu menjalankan fungsi pimpinan. Beliau menetapkan aturan, mengelola sumber daya, dan memimpin umat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan dan peperangan. Kekuatan beliau berasal dari wahyu Ilahi dan otoritas kenabian. Namun, di balik itu, terpancar jiwa kepemimpinan yang agung. Visi beliau tentang Islam yang rahmatan lil 'alamin menginspirasi seluruh sahabat. Beliau memberdayakan potensi para sahabat dengan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan mereka. Gaya komunikasi beliau yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan mampu membangun hubungan yang kuat dan komitmen yang mendalam dari para pengikutnya. Motivasi utama yang beliau tanamkan adalah keimanan dan kerinduan akan ridha Allah, bukan sekadar imbalan duniawi. Dalam menghadapi perubahan, seperti perjanjian Hudaibiyah atau perluasan dakwah, beliau menunjukkan visi yang jauh ke depan dan kemampuan memimpin umat melalui masa-masa sulit.
Demikian pula dengan Khulafa' Rasyidin. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, dengan ketegasannya menjaga persatuan umat setelah wafatnya Rasulullah, menunjukkan kualitas pimpinan yang kuat. Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dengan sistem administrasi negara yang beliau rintis, adalah seorang pimpinan yang visioner. Namun, keduanya juga adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat, mendengarkan keluhan, dan mengutamakan keadilan. Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma, meskipun diwarnai dengan berbagai tantangan, tetap berusaha memimpin umat dengan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah, menunjukkan esensi kepemimpinan yang berorientasi pada nilai.
Dalam konteks tugas sosok Pejabat Administrator, pemahaman akan perbedaan antara pimpinan dan pemimpin ini menjadi sangat relevan. Kita diharapkan tidak hanya menjadi pimpinan yang efektif dalam mengelola operasional dan mencapai target-target yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, kita dituntut untuk menjadi pemimpin yang mampu menginspirasi staf, memberdayakan potensi mereka, membangun tim yang solid, dan memimpin perubahan positif demi peningkatan kinerja organisasi.
Pembekalan kompetensi kepemimpinan transformatif dalam Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) mengarahkan kita untuk melampaui sekadar kewenangan formal. Kita diajak untuk berfokus pada kemampuan membangun visi yang jelas, mempengaruhi orang lain dengan cara yang positif, dan mendorong inovasi untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih tinggi. Seorang Pemimpin Administrator mampu menciptakan lingkungan kerja yang kolaboratif dan inklusif, di mana setiap anggota tim merasa dihargai dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Dengan demikian, organisasi yang kita pimpin akan mampu beradaptasi dengan dinamika zaman dan mencapai kinerja yang unggul dalam menghadapi berbagai tantangan.
Meneladani Rasulullah dan Khulafa' Rasyidin mengajarkan kita bahwa kepemimpinan yang sejati adalah harmoni antara ketegasan dalam pengelolaan dan kelembutan dalam membina. Kita harus mampu mengambil keputusan yang tepat dan mengawasi pelaksanaan tugas dengan efektif, namun juga mampu membangun hubungan yang didasari kepercayaan, memberikan inspirasi, dan memberdayakan potensi staf untuk mencapai tujuan bersama yang lebih mulia. Inilah esensi kepemimpinan yang mencerahkan, yang membawa organisasi menuju kemajuan yang berkelanjutan.