Dalam menjelajahi dunia tersirat dan tersurat, kita masing-masing telah mendapatkan pelajaran, yang disampaikan dengan beraneka cara saat kita mempelajari dunia dengan filosofi yang sangat mendalam. Salah satunya adalah jabatan. Pak Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam berbagai kesempatan seringkali mengingatkan kita tentang jebakan-jebakan duniawi yang sering berbalut anugerah.
Ditengah-tengah tugas memberikan pengimbasan ZI ke Kemenag Kota Kediri, saya menyempatkan mampir ke Pesantren Lirboyo dan mengikuti Kajian al-Hikam. Salah satu dawuh Kyai Anwar Mansyur yang beliau kutip dari al-Hikam adalah “إنْ رَغَّبَتْكَ البِداياتُ زَهَّدَتْكَ النِهاياتُ” (Jika permulaannya membuatmu tertarik, maka kesudahannya akan membuatmu benci). Saya tercenung dengan kalimat ini, sungguh menukik tajam pada hakikat ambisi jabatan yang memaksa saya harus bermuhasabah. Di awal, jabatan terlihat begitu memikat; ia menjanjikan kehormatan, kekuasaan, dan pengakuan. Kita mungkin merasa mulia karena diberi kepercayaan. Namun, kita lupa bahwa segala sesuatu yang berawal akan berakhir. Ketika jabatan itu dilepas, seringkali yang tersisa adalah kekosongan dan kepahitan. Inilah yang disebut post-power syndrome, sebuah manifestasi dari keterikatan hati pada hal-hal yang tidak abadi.
Lahir dan Batin Sebuah Jabatan
Kyai Anwar juga menyebut “إنْ دَعاكَ إلَيْها ظاهِرٌ نَهاكَ عَنْها باطِنٌ” (Jika lahiriahnya memikatmu, maka batinnya akan mencegahmu) semakin memperjelas bahwa godaan kulit seringkali melalaikan kita untuk melihat esensi. Secara lahiriah, jabatan adalah panggung untuk unjuk kebolehan, tempat untuk disanjung dan dihormati. Namun, secara batin, jabatan adalah ujian berat. Ia adalah medan peperangan melawan ego, kesombongan, dan potensi penyimpangan. Hati nurani kita, yang merupakan "batin" dalam diri, akan selalu berbisik mengingatkan bahwa jabatan itu adalah amanah, bukan hak untuk berkuasa. Jika kita berburu jabatan hanya karena keindahan lahiriahnya, maka batin kita akan menjauhkan diri dari hakikat amanah yang sesungguhnya.
Peringatan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ, sebagai teladan tertinggi dalam tasawuf dan kepemimpinan, telah memberikan rambu-rambu yang sangat jelas. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, beliau bersabda: “Sungguh aku tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang berambisi terhadap jabatan itu.”
Sabda ini bukan sekadar larangan, melainkan petunjuk spiritual. Orang yang ambisius terhadap jabatan cenderung melihatnya sebagai alat pemuas keinginan pribadi, bukan sebagai alat untuk melayani umat. Ambisi buta akan mengaburkan pandangan, menjadikannya lupa akan tujuan sejati dari sebuah amanah. Ibnu Hajar pun menegaskan bahwa siapa pun yang mengejar kekuasaan dengan ambisius, maka ia tidak akan ditolong oleh Allah.
Akhirnya, pesan tasawuf Prof. Nasaruddin Umar dan hadis Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk melepaskan segala bentuk keterikatan duniawi. Jabatan, harta, dan kekuasaan hanyalah titipan sementara. Ketenangan sejati tidak datang dari kekuasaan yang fana, melainkan dari hati yang ikhlas menerima segala ketetapan Allah, termasuk kapan harus datang dan kapan harus pergi dari sebuah jabatan.
Maka, jika hati kita berbisik untuk memburu sebuah amanah, cobalah dengarkan bisikan batin yang lebih dalam. Apakah itu adalah panggilan untuk melayani, atau sekadar ilusi dari ego yang haus pengakuan?