Seberapa Pantas Kita Mendapat Haji Mabrur?

Artikel ini sudah dimuat di malangposcomedia pada 24 Juni 2024

Saat saya menjadi petugas pembimbingibadah kloter tahun 2012, kloter saya di Muzdalifah dan Mina ditempatkan di Mina Ajdad yang sekarang tidak digunakan lagi, karena ada konsep murur. Saat itu jamaah sempat bersitegang karena tendanya ndak cukup. Akhirnya jamaah yang berasal dari Surabaya, yang didominasi dari jamaah thariqah yang menginduk pada Pesantren Suralaya Tasikmalaya itu mengalah dan memilih pulang ke Hotel di daerah Mahbasjin. Jadi saat saya di kirimi video oleh kawan dari Tanah Air tentang Mina yang tidak cukup, ya memang ndak cukup. Semua harus rela berhimpitan. Saat sowan Gus Mus di sela menjalankan tugas sebagai Satgas Jamarat, beliau ngendikan; untuk mengetahui hajinya mabrur atau tidak, nanti di rumah dia banyak berkeluh kesah apa tidak? Ridlo apa tidak dengan jamuan Allah. Mina Ajdad ini sesungguhnya bagian dari Muzdalifah. Saat mabit Muzdalifah dia disebut Muzdalifah dan esok harinya saat mabit Mina disebut Mina. Banyak dari jamaah yang ditempatkan disini memilih pulang ke hotel karena meragukannya sebagai Mina atau merasa terlalu jauh dari jamarat sekitar 7 km-an. Tahun ini, saat Mina ajdad tidak digunakan, dan semua dipusatkan di Mina dan Mina jadid, tentu saja menjadi tidak cukup. Terlebih banyak jamaah yang sesungguhnya hotelnya sangat dekat dengan Jamarat tetap memilih di tenda tidak berkenan berpindah ke hotel. Padatlah tenda Mina. Bayangkan jumlah jamaahnya ditambah, tetapi Mina nya tidak bertambah. Salah seorang jamaah, berkata dan mengandai andai di depan saya: “Andai saja Mina ini ndak usah dibuat tenda tapi sekalian dibangun berlantai-lantai jarak tempuh semua jamaah akan pendek dan mengurangi masalah tenda Mina yang meluas hingga ke Muzdalifah”. Rukun haji s eb enarnya fleksibel selain tartib harus mendahulukan wukuf dibanding yang lain, wajib dan rukun lainnya bisa diputer-puter. Setelah wukuf Arafah boleh langsung ifadloh ke Makkah dengan meninggalkan mabit Muzdalifah baik dengan prinsip mabit Muzdalifah dan Mina hukumnya sunnah atau mabit Muzdalifah hukumnya wajib yang kalau ditinggal harus membayar dam. Dengan demikian tahalul awalnya adalah thawaf ifadlah, sai dan cukur. Tinggal kemudian tahalul tsani bisa dilakukan dengan dibarengkan di akhir, jumrah aqabah dan jumrah hari tasyriq. Skema ini sesungguhnya sudah banyak dipraktekkan oleh para kiai ataupun travel biro haji khusus. Bisa juga menggunakan skema murur seperti yang dipraktekkan sekarang, jamaah lansia tidak di mabitkan di Muzdalifah dengan mengikuti pendapat Mabit itu sunnah dan langsung mabit di Mina. Tahalul awal dilakukan dengan lempar jumrah aqabah dan cukur. Dan tahalul tsani dengan thawaf ifadlah dan sai. Atau menggunakan skema yang umum dilakukan saat ini; setelah wukuf Arafah, mabit di Muzdalifah kemudian ke Mina untuk lempar jumrah aqabah dan cukur untuk tahalul awalnya. Semua skema ini sesungguhnya sudah sangat dipahami didunia pesantren dan kalangan cerdik pandai pengkaji hukum fikih. Hanya saja bagi orang awam mungkin agak membingungkan. Atau mereka yang kekeh dengan satu aturan tanpa mau melihat banyaknya pendapat ulama dalam membaca pesan Nabi, akan menganggap yang berbeda dengannya, telah melakukan bid’ah atau mengada-ada. Upaya pemerintah mencari metode yang memudahkan dan menyenangkan jamaah haji Indonesia sungguh membuat saya terpana. Pak Imam Khairi yang memimpin Tim Konsultan ibadah dan bimbingan ibadah, dalam sebuah rapat menceritakan secara detail kenapa ada kebijakan ini dan itu termasuk resiko dan kurang lebihnya. Sayangnya kerja keras pemerintah Indonesia mencari celah untuk memudahkan jamaah dalam beribadah dan mengurangi risiko buruk bagi jamaah, sangat jarang di ekspos atau diberitakan. Pada pertemuan jamaah NU sedunia yang menjalankan ibadah haji di Hotel Tayseer Tower, saya bertemu dengan Direktur Bina Haji, Dr. KH. Arsyad Hidayat. Dalam obrolan seputar haji beliau mencetuskan ide tiga skema Armuzna yang saya ceritakan diatas. Bila disetujui tahun-tahun yang akan datang, jamaah haji sudah diedukasi sejak awal dan diminta memilih salah satu dari tiga skema sehingga jamaah sejak awal sudah siap dan mengetahui langkah-langkah yang harus ia lakukan di tanah suci. Dengan menjalankan tiga skema ini, ada beberapa keuntungan yang didapatkan, diantaranya: 1. Pengurangan penumpukan jamaah di Mina, 2. Pengurangan penumpukan jamaah di Muzdalifah, 3. Jamaah dapat menjalankan thawaf ifadlah saat Masjidil Haram belum begitu padat. 4. Kepadatan menuju jamarat di tanggal 10 Dzulhijjah menjadi terkurangi. Bila skema ini bisa terealisasi, mungkin dapat mengurangi keluh kesah sempitnya Mina karena jamaahnya bertambah tetapi tempatnya tidak menjadi bertambah luas. Namun begitu, jangan pernah berharap pelaksanaan haji tanpa cacat. Pasti ada celah untuk dikritik dan dicaci. Mbah Yai Maimoen Zubair Allahu Yarhamuh pernah menyatakan: “Haji kui mesti nggelakke mbok usahakke koyo opo wae” Haji itu pasti ada yang mengecewakan meski diusahakan seperti apapun. Karena yang mengecewakan itu adalah media untuk menguji kita rofats, fusuq dan jidal atau tidak. Untuk mengukur seberapa pantas kita mendapat haji mabrur. Wallahu a’lam. (*)

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.