Mengejar Jamuan Tamunya ataukah Pertemuan Dengan Tuan Rumah?

Seberapa pentingkah arbain? Begitu datang ke kantor daerah kerja Madinah, kepala kantor Daker Madinah menyambut saya dan rombongan yang berempat, dengan baik dan langsung memberi saya pekerjaan rumah untuk mencarikan solusi untuk keterbatasan hotel yang bisa digunakan untuk jamaah haji dan padatnya penerbangan sehingga tidak semua kloter bisa mendapatkan cukup waktu untuk menjalankan arbain.

Umumnya jamaah haji Indonesia ke Madinah untuk tujuan menjalankan arbain. Bahkan paket umrahpun ada yang menyediakan paket arbain yang menuntut berdiam di Madinah minimal 9-10 hari diluar hari kedatangan dan kepulangan. Bahkan bagi jamaah haji guna kepentingan arbain, pemerintah berupaya melindungi dengan bayan tarhil, semacam perjanjian kapan jamaah boleh pergi dari Madinah setelah melengkapi arbain. Namun hal itu tidak bisa lagi dilakukan, pemerintah Saudi melalui E-Hajj memberi batas maksimal tinggal di Madinah 9 hari termasuk hari kedatangan dan kepulangan. Hotel-hotel juga banyak dihancurkan untuk perluasan Masjid. Hotel tidak lagi bisa dipesan khusus jamaah Indonesia, pemerintah Indonesia harus mau berbagi dengan negara lain untuk jamaahnya. Hotel digunakan bergantian.

Arba'in atau arba'un dalam Bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba'in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 9 hari diluar hari kedatangan dan kepulangan agar bisa menjalankan shalat arba'in.

Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi Shallallahu 'Aalaihi wasallam- bersabda: “man shalla fi masjidi arbaina shalatan la yafutuhu shalat kutibat lahu baroatun minannaar wa najaatun minal adzab wa baria minan nifaq” Barang siapa shalat di masjidku empat puluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. Secara teks atau matan hadits ini tidak berkait erat dengan rangkaian haji. Karenanya shalat arbain bisa dilakukan diluar rangkaian haji dan tidak harus dibulan haji. Hanya saja memang kesempatan untuk pergi ke Makkah dan Madinah merupakan kesempatan langka yang sayang dilewatkan.

Dari sisi sanad hadits atau rijal hadits (orang yang meriwayatkan), berdasar site sunnah.one, hadits ini diriwayatkan oleh setidaknya dua perawi yaitu Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad. Namun masing-masing ulama yang menukil hadits ini memberi beberapa catatan bahwa hadits ini lemah, diingkari bahkan al-Wadai dalam al-Shafa-ah lil wadai memberi catatan bahwa hadits ini tidak terbukti bersumber dari Rasulullah.

Kalaupun hadits lemah ini dianggap boleh dilakukan karena berkaitan dengan ‘afdoliyah amal’/keutamaan amal. Waktunya tidak spesifik pada bulan haji dan tidak harus terangkai dengan proses haji. Karenanya dalam buku-buku manasik haji yang ditulis oleh ulama-ulama salaf, shalat arbain tidak dicantumkan. Rata-rata buku manasik karya para ulama malah mencantumkan ziarah kepada Rasulullah di akhir babnya.

Dalam Taqriratus Sadidah karya Habib Hasan Al-Kaf yang merupakan rangkuman kajian Habib Zain Ibn Ibrahim Ibn Zain Bin Sumaith salah seorang ulama Madinah kelahiran Bogor, pada halaman 521 arbain menjadi salah satu kesunnahan ziarah Madinah. Dinyatakan :

تسن زيارة النبي صلي الله عليه وسلم بالإجماع وبعض العلماء أوجبها .... سنن زيارة المدينة المنورة ... الصلاة في المسجد النبوي أربعين فرضا متواليا وقال بعضهم ولو قضاء في وقت واحد.

disunnahkan ziarah Nabi Muhammad berdasar kesepakatan ulama dan sebagian ulama bahkan mewajibkannya ... dan diantara kesunnahan ziarah Madinah adalah... shalat di masjid nabawi 40 fardlu secara terus menerus sebagian ulama menyatakan meskipun shalat fardlu itu adalah mengqadla shalat fardlu dalam satu waktu.

Berdasar pendapat ini, bila jamaah haji tidak mendapat waktu cukup karena kendala teknis kedatangan maupun penerbangan, maka kesunnahan arbain dapat diraih dengan melengkapi kekurangan 40 itu dengan shalat qadla atas shalat yang pernah terlewat atau diduga tidak sah.

Apakah harus di Masjid Nabawi sebagaimana hadits dlaif diatas? Dalam kitab Hajjan Mabrura Wa Sa'yan Masykkura karya Habib Muhammad Ibn Abdullah al-Haddar halaman 17 disebutkan;

وكذلك كل عمل في المدينة بالف اه ومال إلي هذا بعضهم موافقة للإمام الغزالي رحمه الله في أن المضاعفات لا تختص بالمسجد بل في سائر حرم المدينة

begitu juga setiap amal di Madinah dengan dilipat gandakan seribu kali. Dan sebagian ulama condong menyepakati pendapat Imam Ghozali dalam lipat ganda pahala ini tidak tertentu di masjid saja bahkan diseluruh tanah haram madinah.

Berdasar pendapat ini, bagi jamaah lansia, disabilitas dan yang kesehatannya sedang terganggu, tidak perlu memaksakan diri dengan melawan cuaca panas yang rata-rata lebih dari 40 derajat Celsius ke Masjid Nabawi. Tetapi kesunnahan arbain atau pelipat gandaan pahala shalat 40 waktu dapat diraih di hotel masing-masing.

Salah satu tujuan agama adalah hifdzun nafs (menjaga jiwa) karenanya, upaya memaksakan diri meraih pahala kesunnahan dengan mengabaikan kesehatan adalah melanggar tujuan agama. Habib Umar Ibn Muhammad Bin Hafidz pernah menegaskan orang yang berupaya meraih keutamaan ibadah tetapi mengabaikan kesehatan bahkan mengancam nyawanya, bila ia meninggal dunia dia tidak bisa disebut mati syahid. Tetapi termasuk orang yang bunuh diri. Agama tidak diajarkan dengan cara mengorbankan diri sendiri. Kalau hifdzun nafs merupakan kewajiban sementara arbain adalah kesunnahan, maka kesalahan besar bila mengabaikan kewajiban mendahulukan kesunnahan.

Sesungguhnya ke Madinah adalah untuk bertamu pada Rasulullah, berziarah pada Rasulullah. Arbain adalah jamuan Nabi untuk ummatnya, pantaskah kita mengejar jamuan dengan mengabaikan tuan rumah, Rasulullah yang senantiasa merindukan ummatnya? Moga Allah memabrurkan haji kita. Wallahu a’lam

Achmad Shampton Masduqi,

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Malang

Rudianto

Penulis yang bernama Rudianto ini merupakan Pegawai Kantor Kementerian Agama Kota Malang yang berstatus PNS dan memiliki jabatan sebagai Pengadministrasi Data Penyajian dan Publikasi.