Usai menyelami renungan Gus Mus tentang "Pakaian" dalam bukunya "Saleh Ritual, Saleh Sosial," saya tersentak. Beliau menyebut, seringkali seragam pimpinan, yang seharusnya sesederhana kain penutup aurat, tiba-tiba menjelma cermin buram. Ia bukan lagi sekadar fungsi, melainkan penanda, bahkan topeng yang menyembunyikan sekaligus memamerkan.
"Walibasuttaqwa dzalika khair," firman Tuhan itu kini terasa lebih dalam. Kenapa Allah membahasakan perintah ketaqwaan dengan pakaian. Pakaian, ternyata, bisa menjadi medium watak. Seragam gagah seorang tentara, safari seorang pejabat, jangan-jangan menyimpan bibit-bibit keangkuhan yang subur di balik tenunan benang.
Bahaya laten itu mengintai. Pejabat yang merasa "mentereng" dalam balutan kekuasaan, rentan tergelincir pada laku dzalim. Imam al-Mawardi pernah bertanya, sebuah pertanyaan yang relevan hingga kini: "Sungguh mengherankan, pejabat yang menindas bawahan dan rakyat, padahal kehormatannya bersumber dari ketaatan mereka." Ironi kekuasaan yang tak lekang dimakan zaman.
Di ruang kerja saya, pintu sengaja kubiarkan terbuka, simbol keterbukaan yang saya yakini. Namun, sisa-sisa "kepongahan" masa lalu, bagai kabut pagi yang enggan sirna, masih terasa menyelimuti. Harapan akan keakraban dengan kolega, seringkali terbentur pada seragam birokrasi yang kaku. Sebuah tembok tak kasatmata yang sulit ditembus.
Bahkan inisiatif "ABG Asyik Bersama Gus" dari kawan-kawan, yang bertujuan mencairkan suasana, belum sepenuhnya berhasil. Sekat birokrasi, yang di era digital ini seharusnya musnah, nyatanya masih berdiri kokoh. Sebuah anomali modernitas yang patut direnungkan. Tidak sedikit kawan-kawan ASN yang masih nyaman dengan bicara dibelakang, dibanding terus terang protes atau menyampaikan saran di forum itu.
Dulu Presiden, lewat blusukannya, mencoba meruntuhkan tembok itu. Seragam keki ditanggalkan, diganti kemeja putih sederhana, simbol kesederhanaan yang ingin ditunjukkan. Namun, upaya itu, agaknya, belum sepenuhnya merasuk ke dalam. Tetapi saya sempat mendengar seorang menteri bercerita di grup WA nya dengan presiden, gurauan sepi, hanya ada "siap laksanakan" yang membahana. Sebuah komunikasi birokrasi yang tak mudah dirubah.
Merakyat, ternyata, bukan sekadar berganti pakaian. Lebih dari itu, ia adalah kesiapan mental, baik dari pemimpin maupun yang dipimpin. Pakaian jabatan, yang idealnya cukup menutup aurat dan menjaga kesopanan, kini terperangkap dalam labirin formalitas protokoler yang rumit. Sebuah jebakan yang justru menjauhkan dari esensi pelayanan.
Pakaian, memang mengubah cara pandang orang lain terhadap kita. Sebuah ilusi persepsi yang seringkali menyesatkan. "Mata memang sering menipu manusia itu sendiri," gumam saya, menatap refleksi diri di cermin. Sebuah perenungan tanpa akhir.
Dulu, almarhum abah saya sering melontarkan kritik pedas setiap kali melihat saya berdasi. "Ada acara apa kok pakai kalung kirik?" begitu celetuknya, meruntuhkan kebanggaan saya dengan menyamakan dasi dengan kalung anjing. Sebuah kritik tajam terhadap simbol-simbol kekuasaan yang seringkali membutakan.
Dalam Pendidikan Kepemimpinan Administrator yang sedang saya ikuti, ada materi konsep kepemimpinan transformasional yang mengharuskan membuka ruang dialog seluas-luasnya. Pimpinan dan bawahan diajak berkolaborasi, berinovasi, demi pelayanan yang lebih baik. Namun, bagaimana dialog itu bisa terjalin dengan tulus jika sekat formalitas, yang salah satunya termanifestasi dalam "pakaian keangkuhan," masih begitu tebal?
Mungkin, esensi kepemimpinan bukan terletak pada seragam yang dikenakan, melainkan pada kesediaan untuk mendengar, untuk membuka diri pada gagasan-gagasan baru, tanpa terhalang oleh hierarki dan simbol-simbol kekuasaan yang semu. Lebaran sebentar lagi tiba. Semoga semangat kembali ke fitrah juga merasuki cara kita berinteraksi, melampaui sekat-sekat formalitas, dan membuka ruang dialog yang sesungguhnya. Bukan sekadar "siap laksanakan," tapi "mari kita pikirkan bersama." Bukankah di sanalah esensi pelayanan yang sesungguhnya bersemi?